Tuesday, December 29, 2020

 Dalam Rasa



Kadang,

Dalam tangis aku bisa merasa

Bahwa kerinduanku padamu begitu sakitnya.

Hingga

Aku begitu lupa,

Bahwa ternyata aku hanya bisa berucap dengan airmata.


Dalam rasa yang kurasa

Apakah kau juga merasa?

Tentang sepotong kasih yang kita punya

Bahwa ia tak kan sirna.

Namun terpisah hanya karena wabah yang merajalela.


Dalam rasa yang kurasa.

Ada nyeri yang menyesak dada.

Hingga aku begitu terluka

Saat coba menahan gejolak yang ada.


Dalam rasa yang kurasa,

Sungguh aku tak bisa membendungnya.

Menyiksa.

Teramat perih dengan luka dan bilurnya.

Namun biar kan kujaga segenap rasa yang ada.

Tak tergerus jaman.

Tak lekang keadaan.

Terabadikan.


Dalam rasa yang kurasa.

Kan slalu kusimpan perihnya luka yang kurasakan.

Berharap kau tahu

Dan juga merasakan hal sama,

Tentang rasa

Setangguk rindu yang menggelora.



Roemah Difabel, X'mas eve 2020



Wednesday, December 16, 2020

 

Kematian

 

 

 

 

Terkadang kebencianku meradang.

Merubah segalanya jadi  bencana.

Menyiksa setiap derap nafas dada.

Mendera  dalam hempas langkah yang ada.

 

Apakah ini kebencian,

atau hanya sekedar pelampiasan?

Aku tak pernah paham.

Karena semua bermuara dari sumber yang kelam.

Jelaga hitam yang penuh noda dan celaan.

 

Setiap langkah yang kuayunkan tak pernah dibenarkan.

Setiap gerak yang kulakukan selalu dinistakan.

Aku memang hanya umpan,

bagi mereka yang tak pernah suka kebenaran.

Dan aku hanya memang jadi pecundang,

bagi mereka yang menyebut diri pahlawan.

Tapi rasaku masih hidup dan berkembang

dalam nafas kerelawanan.

Kuagungkan, tak kan kuabaikan.

Karena aku hanya memelihara kasih kemanusiaan.

Tak kan lagi kupedulikan

Mereka yang mencercaku dengan fitnahan.

Itu hanya bau kematian.

 

Nakula Raya, 10/12/2017    23.10 wib.

 

 


 

Wabah Corona Tumrab Para Dulur Tani

 

 

Amargo wabah iki aku isih isa bali.

Nanging,

Ora kena lunga saka ngomah?

Duh Gusti,

Nganti kapan ora ana kang ngerti.

Nyambut gawe kudu saka ngomah.

Honor wis suda dititili sakben wayah.

Bocah-bocah ora ana kang sekolah.

Kabeh wong tua wis ngerasa sayah,

Merga bocah-bocah malah kakehan polah.

Genuk wadah beras isine mung cukup kanggo dina iki.

Sabun adus lan sabun umbah-umbah malah wis entek kawit dek wingi.

Latar ngarepan omah kebak godhong pating blasah.

Srengenge saya suwe saya mlethek ngobong ati.

Suket-suket wis pada garing.

Saya gering kaya dene wit jati.

Aku isih tetep kudu ngarit saben dina, ora ngerti titi wanci.

Dene kewan-kewan kang tak pakani, sajak ora ngerti.

Saya suwe panas mlethek ana njero ati.

Apa Kangmas ora ngerti, aku ora bisa urip kaya ngene iki?

Nganti kapan, embuh, aku ora ngerti....

Jebul krasa luwih kesel ana njero ati

 

 

Nglipar, 10/05/2020



 

Aku Ora Ngerti

 

 

Kangmas,

Kadang aku ora ngerti, 

ora mudeng karo dalan kang tak pecaki.

Ndisik mula nalika lagi tak niati, 

rasaku wis saguh ngancani Kangmas nganti tumekaning pati.

Nanging kabeh kang tak temoni mung gawe kuciwane ati.

Gela, 

nanging aku kudu pie, Kangmas ora kersa ngandani.

Jare wong wedok kui kudu percaya marang guru laki,

Nanging Kangmas sajak ora isa tak percayani.

 

Kangmas,

Menungsa urip kui kudu duwe krenteg suci lan karep kang gede.

Nanging kenapa uripmu kaya mung trima kaya ngono kui?

Urip sakmadya, aku bisa ngerti.

Nanging ora njur duwe karep sak kepenake ati.

Sesuk.

Sesuk.

Lan sesuk.

Nganti entek sesuk nanging wis pirang-pirang sasi.

Banjur saiki taun wis ganti....

Kangmas ajeg kaya wingi uni.

Gelane rasa atiku nalika bali.

Kayane aku kudu maneh lunga luwih suwi.

 

Kangmas,

Nganti kapan awake dewe arep kaya ngene iki?

“Embuh, aku ora ngerti.” Suaramu semaur kanti grogi.

Kandamu awake dewe sak derma titah kang nglakoni.

“Nanging aku wis kesel nglakoni urip kaya ngene iki.” Aku ora bisa matur kanti ngati-ati.

 

Duh Gusti....

Impenku ndisik,

 Kangmas isa tak jak bareng mecaki langkah nuju impen suci.

Gawe usaha kanggo masa depan awake dewe supaya isa luwih mandiri.

Supaya bisa biyantu liyan,

Sedulur-sedulur kang uripe luwih sengsara kaya jaman saiki.

Nanging nalika aku bali,

Apa kang tak temoni?

Niatku bali mung arep ngewangi.

Sethitik isa-a ngenteng-ngentengi tugas wajibmu kang abot kui....

Oalaaah Gusti.

Modal entek.

Bekakas resik blas ora ana sisa.

Dagangan laris gusis ninggal rasa kecewa.

Kepie caraku ngerti,

Nyatane Kangmas ora mung gawe kuciwa.

Nanging ngentekne ati.

Tur ajeg wae semaur sesuk lan sesuk tumeka saiki....

 

“Gusti, nyuwun paringi sabar ngelakoni.”

Aku mung isa nyebut ana njero ati.

 

Nglipar, 10/05/2020 



 


Monday, February 17, 2020


Pada Sebuah Cinta







Melabuhkan harapan, meluaskan cara pandang.

Membentang sayap dengan kelukaan, 
melihat kenyataan yang harus kita temukan.

Itulah aku yang mengabdi cinta lewat pengorbanan.



Saat cinta membutuhkan kesetiaan, 
saat itu pula cinta menoreh kepercayaan.


Duhai,

Pada sebuah cinta yang kudambakan,

Aku sengaja melepas kebahagiaan.

Demi bersamamu meraih asa yang pernah kita genggam,

Maka derita, rindu dan dendam 
semua kupeluk dalam kesetiaan.


Karena aku percaya,

Bahwa bersama kesetiaan,

Matahari akan muncul berpendaran.

Luluh lantakkan gelap malam,

Memberi kehangatan dalam hati senyap kedinginan.


Bersama kesetiaan 
aku bertahan dalam cabar nan menghadang.

Bersama cinta yang kutanam,

Kau akan datang dengan kasih tanpa kelukaan.


Namun sabar butuh waktu panjang,

Bak menanti malam hingga fajar kelihatan,

Maka di sanalah harapan kutaburkan.

Menanti kasihmu mengisi kehampaan.







Nglipar, 09/03/2018

Bayang Masa Lalu, Antara And dan Aku





Aku yakinkan itu nomer kontakmu. 
Kutimbang dan bulat kuputuskan menuruti kata hatiku. Kutulis pesan buatmu dengan harapan yang masih besar, menggantung di benakku.

“And, bertahun mencari kabarmu. Apa kabarmu? Aku pengen tahu keadaanmu? Hanya pengen denger suaramu. Kalau boleh aku tahu, jam berapa jam rehatmu? Boleh aku menelponmu?” Aku membaca pesan yang kutulis sekali lagi. Memastikan tak ada kata yang keliru.

Kukirimkan pesan, tak ada jawab kepastian kudapatkan. Tak ada tanda bahwa pesan itu telah diterima dan dibaca oleh yang kumaksudkan. Apakah kau tidak berkenan membaca pesan dari nomor asing yang kau dapatkan? Ragu mengusap anganku.
Lama waktu berlalu, hingga malam mulai menjelang, petang.

Hp ku bergetar. Segores pilu kurasakan. Menggelenyar merobek sepotong masa silam yang tengah kulamunkan.
Sepenggal pesan kubaca perlahan. Namamu yang tertulis di layar, buyar karena tangis keharuan. Kau bilang akan menelponku. Bermilyar bintang berkilauan, di langit malam ia memendar. Mengisi ruang kosong hatiku yang lama kau tinggalkan.

Dan getar rindu itu masih kurasakan. Hatiku bimbang. Antara mimpi dan kenyataan yang ingin kusampaikan. Ada segumpal resah menyatu di angan. Sanggupkah aku menerima hadirmu dalam secuil kenang masa silam?

Kau, And. Kaulah bayang kelam yang sungguh ingin kutinggalkan. Tapi begitu sulit aku hengkang, meninggalkanmu dalam setangguk kekecewaan.

Kau, And. Kaulah masa lalu yang pernah kuharapkan. Waktu berjalan tanpa kita saling berhubungan. Aku diserang gelombang. Otakku penuh dengan kata-kata yang mulai kususun untuk menjawab sapamu dari seberang. Cepatlah datang duhai panggilan telpon yang kunantikan. Dan biar semua kukatakan. Agar tak ada lagi kebimbangan yang menggayut dalam gersang. Buatlah langkahku pasti hingga tak lagi gamang.

Jerit Iwan Fals dalam lagu Ethiopia buyarkan anganku yang larut dalam pejam. Terimakasih. Kau benar-benar datang meski hanya dalam suara yang kuangan. 

Kau, menelponku, And. 

Aku ragu. Haruskah aku mengangkat panggilan yang kau lakukan? Sekian tahun suara yang kurindukan itu akan kembali kudengarkan. Duniaku seakan runtuh karena rasa hatiku makin berdentam.
Tapi.... sisi hatiku yang lain mengatakan sebuah kebenaran. Aku telah berstatus menjadi istri dari seseorang.

“Abaikan !” Kata hati kecilku mengajarkan kesetiaan.

“Tapi aku merindukan dia yang selama ini pernah kuharapkan. Tokh aku hanya akan ngobrol sebagai seorang teman.” Otakku masih mencari pembenaran.

“Bila kau masih memegang arti kesetiaan, jangan pernah kau hiraukan. Sejak awal kau sudah aku ingatkan.” Hati kecilku mulai khawatir dengan apa yang kurasakan. Aku tahu hati kecilku telah membaca niatku sebagai langkah yang penuh kekeliruan.

“Tak apa. Aku hanya ingin bicara padanya dan menyampaikan kebenaran. Setelah itu aku akan menutup hatiku buatnya. Aku hanya perlu memblokir hatiku. Itu saja. Dan itu akan aku lakukan setelah semua jelas dengan kepastian.” Otakku nekad masih berusaha menyangkal.

Satu lagu Ethiopia milik Iwan Fals usai diperdengarkan. Tapi nada dering itu berbunyi lagi. Seolah jerit dalam lagu-lagu itu adalah kenyataan. Aku masih bergeming larut dalam khayalan. Hanya memandang diam, aku nanar dengan apa yang kurasakan. Dadaku sesak dan perih dengan apa yang baru saja kuputuskan.

Pick-up, Yanti.” Otakku terus membisikkan. Kutata hati dan perasaan. Mencoba mereka ulang kalimat indah yang telah kusiapkan. Tombol warna hijau kutekan.

“Ya, And. Maaf aku mengganggu waktumu yang penuh kesibukan.” Aku berkata dalam basi-basi telpon yang menjemukan.

“Pie? Mau ngomong apa?” Kau, And. Suaramu.... Suara yang pernah membuatku terlena dalam masa muda penuh kebahagiaan. Ada kelembutan, ada sepotong harap yang kudambakan. Suara yang  masih menjanjikan kasih sayang. Suara yang merayuku dengan lagu-lagu Melayu dalam dendang riang. Khas dengan cirimu yang tak bisa kulafalkan. Sekali lagi kau membuaiku dengan suara khayalan.

Kata perkata kau ucapkan. Tapi sepotong kalimatmu membuatku tergantung dalam kesedihan. Kau sedang tidak baik-baik saja, And. Aku bisa merasakan. Tekanan kalimatmu, susunan kata dalam diksimu, nada suaramu, getar keraguanmu. Aku sebenar paham, bahwa  itu bukan dirimu. 

Aku ingin kau selalu tahu,  aku senantiasa bahagia dengan suami yang kupunya. Dia melimpahiku dengan segala harapan masa depan. Bukan hanya potongan atau penggal puisi seperti yang kau lakukan.

Sepotong tanya kembali menggema. Mengapa And?
Tidakkah kau mau sedikit berbagi denganku tentangg apa yang kau rasakan ? Tak lagikah kau mempercayaiku, sedang rasa hatiku masih tak ingin berpaling darimu.... Aku disekap rindu bergelombang. Riaknya menyakitkan karena sisi lain hatiku mengatakan kepalsuan. Ada rindu nyata yang kurasakan.
Tak sanggup lagi menahan semua yang kurasakan, tangisku pecah dan kau hanya diam mendengarkan. 

“Sejak aku menikah, aku terus mencari jejak kakimu. Tapi tak pernah bisa kutemukan.” Aku mengungkap kejujuran. Kini kau kutemukan, namun aku tak lagi mengenalmu sebagaimana terakhir kita dipertemukan.

Kau, And, hanya ber-hmmm, lalu diam.
Benakku masih menyimpan bermilyar pertanyaan. Mengapa, And? Mengapa kau setega itu padaku. Memutus hubungkan yang aku tahu hanya hubungan pertemanan dengan kalimat menyakitkan. Aku belajar memupus harapan. Aku belajar menerima kenyataan bahwa sejak kita dipertemukan kita hanya cocok dengan hobi yang memiliki kesamaan. Bukan bersama untuk memulai sebuah hubungan. Pun sejak kita kembali dipertemukan dalam sebuah perjumpaan yang tidak kita inginkan. Aku terus menjaga jarak agar hubungan pertemanan yang kita jalin tetap indah tanpa perselisihan. Tapi aku keliru. Dalam diam kau menyimpan semua kasih sayang. Dan maaf karena aku tak pernah paham. Meski aku bisa merasakan “rasa” yang kau simpan, namun aku harus bertahan karena aku tahu kau memiliki keluarga yang layak kau banggakan. Kau berstatus sebagai suami seseorang, sementara aku masih menapaki jejak langkah yang pernah kau tinggalkan.

Maka mengapa saat Tuhan mengirim jodohku, kau malah menjauh dariku. Kukatakan niat pernikahanku, lalu kau hilang dari hidupku. Dan semua selesai hingga tahun berganti dengan hal-hal baru. Aku menemukan kembali nomer  kontakmu. 

Aku mengawali untuk kembali menghubungimu. Aku berharap bisa mengisahkan dengan kejujuran hatiku tentang perasaan yang kusimpan padamu, meski aku tahu aku keliru. Hingga keluar kalimat yang tak pernah ingin kukatakan padamu. Meluncur begitu saja tanpa aku bisa mengendalikan perasaanku.

“Dulu, saat kita masih sering saling berkirim puisi rindu, aku berharap akulah sosok yang kau gambarkan dalam tulisanmu.” Ujarku dengan isak tergugu. Namun sepenuh hati saat itu aku merasa lepas dari beribu beban yang menghimpitku.

“Sungguhkah?” Katamu dari seberang telpon seperti tak pernah tahu. Sepi. Dan aku menunggu suara lembutmu.

“Mosok sih?” Hanya itu yang keluar dari bibirmu. Duhai, seolah kau tengah sibuk dengan pekerjaan, yang menurutku masih bisa menunggu. 

Hei, bukankah kau tadi bilang akan keluar khusus untuk bisa bicara denganku? Lalu mengapa kau tak hirau dengan kalimat dan perkataanku?!?

Suaramu itu, And. Suara yang mengundang kerinduan hatiku. Berdosakah aku bila masih mengharap bisa kembali bertemu, atau sekedar mengguntai kata untuk tahu apa kabarmu?

Sayangnya, And, aku tak bisa membaca garis wajah atau makna kalimatmu. Dan aku tak pernah tahu bagaimana detak jantungmumu. Andai saja aku ada di dekatmu, tentu aku bisa mengartikan maksud kalimatmu. Bisa merasakan getar hatimu. Bisa mendengarkan hembusan nafas kedamaianmu. Sungguh. Itu karena aku telah paham siapa dirimu. 

Tangisku, ungkapan hatiku, kejujuranku dan semua yang kukatakan padamu malam itu adalah kebenaran yang tak pernah kau tahu. Bertahun aku menahan dari mengatakan semua itu. Karena aku tahu bukan aku sosok yang kau idamkan sejak dulu. Kau telah menikah lebih dulu. Jadi aku menyimpan semua dalam hatiku tanpa sesiapapun yang tahu. 

Menyesal aku telah bicara denganmu, merasa berdosa karena aku merasa telah mengkhianati suamiku. Tapi dari situ aku berharap kau mau percaya padaku. Bahwa itulah sejumput rasaku. Rasa yang sejak dulu, sejak kita masih berseragam putih biru selalu kukunci di sudut hatiku.
***


14 Desember 2019
Aku telah mengungkapkan semua dengan kejujuran. Tak ada lagi beban berhimpit di sudut hatiku terdalam. Semua telah sengaja kubuang dan kulupakan. Tak kusimpan lagi sisa memori tentang obrolan kita semalam. Atau tangisku yang tak henti pada ujung malam lengkap dengan sederet penyesalan. Tapi hatiku telah dipenuhi dengan kelegaan. Ringan bak kapas yang ingin terbang.
Getar handphone berderit pelan. Sebait pesan kudapatkan. Puisi terakhir darimu sebagai kenangan.

Hitam .... Pahit ....
Namun tak sepahit rasa ini saat harus mengenangmu.
Mungkin akan perlu banyak waktu untuk lalui semua.
Karena penaku sudah tak lagi bernyawa.
Dan tak ada lagi makna untuk goreskan kata.
***


Pengkhianatan akan selalu berakhir dengan penyesalan. Pun begitu dengan kesetiaan, buahnya akan manis seperti yang ku rasakan.
Mas, aku kangen Mas. Maafkan karena aku oleng dari bahtera yang kau kemudikan. Namun jangan pernah ragu, karena kata setia itu masih kupegang. Erat dan kuat, kasihmu takkan kulepaskan.
Kaulah harapan dan mimpi yang kini terwujudkan. Maka jadilah imamku di Jannah yang Ia janjikan.
***


Saat sebuah kenangan tentang And kutuliskan, kadang aku berkhayal masih bisa berkirim puisi sayang. Sering aku membayangkan suara itu begitu merdu membangunkanku dari keterlenaan. Karena seorang And ....

Dan waktu terus berjalan. Kau, And-ku, namamu masih kusimpan. Aku mengabadikannya dalam alamat emailku sebagai nama samaran. Sebagaimana nama pena yang pernah kau gunakan. 

And, kaulah bagian potongan keping kehidupan, yang di dalamnya  ikut mewarnai langkahku menuju masa depan. Bersamamu ada bekal yang kudapatkan. Hingga kini aku terus menulis, menulis dan menulis dalam kebahagiaan. Bukan tentang puisi cinta seperti yang pernah kita tuliskan, namun puisi kasih tentang indahnya rasa sayang. Pada kemanusiaan, pada persahabatan, pada persaudaraan, dan pada kehidupan alam.

Aku menulis dengan kecintaan. Saat mood-ku hilang, maka aku akan diam membawa namamu dalam angan. Bagiku kau selalu bisa menghadirkan dan memberikan aku selembar ide cemerlang. Yach, dari bisik angin yang dulu senantiasa kau kirimkan. Dalam desah embun nan penuh kerinduan.... Tak ada lagi puisi cintamu yang kau kirimkan. Aku terdiam, menyimak apa yang sedang suamiku katakan. 

“Ya, Sayang. Cepatlah pulang. Insyaallah tahun ini panen kita sudah lebih baik dari tahun silam.” Begitu menenangkan. Begitu mendamaikan. Mengiring tidurku membentang mimpi masa depan.





Pakuksari 3X, 08 Januari 2020






Seranting Cinta



Menatap lelap tidurmu, 
terbayang sudah penat dan peluhmu. 

Kala pagi belumlah sempurna,
Mendekap cangkul menjinjing bakul 
Kau telah tunaikan tugas utama sebagai imam keluarga.
Ladang-ladang kita menantimu beriring cinta.

Seiring turunnya cahaya,
Pokok-pokok jagung
Dan tunas kacang muda menyemi dalam langitan doa.
Itulah keberkahan kita.
Berharap hidup bahagia dengan sepetak tanah yang kita puja.
Tanah cinta. 

Tanah tempat kita menggantungkan masa depan, 
cinta yang kita satukan.

Dan pada gersangnya daun-daun jati saat dimakan hama,
Para ulat jati dan kepompongnya,
Itupun tetap membawa bahagia.
Berkah dari Yang Kuasa.

Maka pada seranting cinta 
yang kupendam dalam lumbung harapan,
aku merapal mantra 
agar tumbuh bersemi menjadi ladang kekayaan.

Yang berisi kebahagiaan, berkah kasih dan kesejahteraan.

Bagi bahtera yang kita layarkan 
agar selalu ada dalam gengam Sang Rahman.




Nglipar, 22/12/2018      04.55 wib.