Bayang Masa Lalu, Antara And dan Aku
Aku yakinkan itu nomer kontakmu.
Kutimbang dan bulat
kuputuskan menuruti kata hatiku. Kutulis pesan buatmu dengan harapan yang masih
besar, menggantung di benakku.
“And, bertahun mencari kabarmu. Apa kabarmu? Aku pengen tahu
keadaanmu? Hanya pengen denger suaramu. Kalau boleh aku tahu, jam berapa jam
rehatmu? Boleh aku menelponmu?” Aku membaca pesan yang kutulis sekali lagi.
Memastikan tak ada kata yang keliru.
Kukirimkan pesan, tak ada jawab kepastian kudapatkan. Tak ada
tanda bahwa pesan itu telah diterima dan dibaca oleh yang kumaksudkan. Apakah
kau tidak berkenan membaca pesan dari nomor asing yang kau dapatkan? Ragu
mengusap anganku.
Lama waktu berlalu, hingga malam mulai menjelang, petang.
Hp ku bergetar. Segores
pilu kurasakan. Menggelenyar merobek sepotong masa silam yang tengah
kulamunkan.
Sepenggal pesan kubaca perlahan. Namamu yang tertulis di
layar, buyar karena tangis keharuan. Kau bilang akan menelponku. Bermilyar
bintang berkilauan, di langit malam ia memendar. Mengisi ruang kosong hatiku
yang lama kau tinggalkan.
Dan getar rindu itu masih kurasakan. Hatiku bimbang. Antara
mimpi dan kenyataan yang ingin kusampaikan. Ada segumpal resah menyatu di
angan. Sanggupkah aku menerima hadirmu dalam secuil kenang masa silam?
Kau, And. Kaulah bayang kelam yang sungguh ingin
kutinggalkan. Tapi begitu sulit aku hengkang, meninggalkanmu dalam setangguk
kekecewaan.
Kau, And. Kaulah masa lalu yang pernah kuharapkan. Waktu
berjalan tanpa kita saling berhubungan. Aku diserang gelombang. Otakku penuh
dengan kata-kata yang mulai kususun untuk menjawab sapamu dari seberang.
Cepatlah datang duhai panggilan telpon yang kunantikan. Dan biar semua
kukatakan. Agar tak ada lagi kebimbangan yang menggayut dalam gersang. Buatlah
langkahku pasti hingga tak lagi gamang.
Jerit Iwan Fals dalam lagu Ethiopia buyarkan anganku yang
larut dalam pejam. Terimakasih. Kau benar-benar datang meski hanya dalam
suara yang kuangan.
Kau, menelponku, And.
Aku ragu. Haruskah aku mengangkat panggilan yang kau lakukan?
Sekian tahun suara yang kurindukan itu akan kembali kudengarkan. Duniaku seakan
runtuh karena rasa hatiku makin berdentam.
Tapi.... sisi hatiku yang lain mengatakan sebuah kebenaran. Aku
telah berstatus menjadi istri dari seseorang.
“Abaikan !” Kata hati kecilku mengajarkan kesetiaan.
“Tapi aku merindukan dia yang selama ini pernah kuharapkan.
Tokh aku hanya akan ngobrol sebagai seorang teman.” Otakku masih mencari
pembenaran.
“Bila kau masih memegang arti kesetiaan, jangan pernah kau hiraukan.
Sejak awal kau sudah aku ingatkan.” Hati kecilku mulai khawatir dengan apa yang
kurasakan. Aku tahu hati kecilku telah membaca niatku sebagai langkah yang
penuh kekeliruan.
“Tak apa. Aku hanya ingin bicara padanya dan menyampaikan
kebenaran. Setelah itu aku akan menutup hatiku buatnya. Aku hanya perlu
memblokir hatiku. Itu saja. Dan itu akan aku lakukan setelah semua jelas dengan
kepastian.” Otakku nekad masih berusaha menyangkal.
Satu lagu Ethiopia milik Iwan Fals usai diperdengarkan. Tapi
nada dering itu berbunyi lagi. Seolah jerit dalam lagu-lagu itu adalah kenyataan.
Aku masih bergeming larut dalam khayalan. Hanya memandang diam, aku nanar
dengan apa yang kurasakan. Dadaku sesak dan perih dengan apa yang baru saja
kuputuskan.
“Pick-up, Yanti.” Otakku terus membisikkan. Kutata hati dan
perasaan. Mencoba mereka ulang kalimat indah yang telah kusiapkan. Tombol warna
hijau kutekan.
“Ya, And. Maaf aku mengganggu waktumu yang penuh kesibukan.”
Aku berkata dalam basi-basi telpon yang menjemukan.
“Pie? Mau ngomong apa?” Kau, And. Suaramu.... Suara yang
pernah membuatku terlena dalam masa muda penuh kebahagiaan. Ada kelembutan, ada
sepotong harap yang kudambakan. Suara yang
masih menjanjikan kasih sayang. Suara yang merayuku dengan lagu-lagu Melayu
dalam dendang riang. Khas dengan cirimu yang tak bisa kulafalkan. Sekali lagi
kau membuaiku dengan suara khayalan.
Kata perkata kau ucapkan. Tapi sepotong kalimatmu membuatku
tergantung dalam kesedihan. Kau sedang tidak baik-baik saja, And. Aku bisa
merasakan. Tekanan kalimatmu, susunan kata dalam diksimu, nada suaramu, getar
keraguanmu. Aku sebenar paham, bahwa itu
bukan dirimu.
Aku ingin kau selalu tahu,
aku senantiasa bahagia dengan suami yang kupunya. Dia melimpahiku dengan
segala harapan masa depan. Bukan hanya potongan atau penggal puisi seperti yang
kau lakukan.
Sepotong tanya kembali menggema. Mengapa And?
Tidakkah kau mau sedikit berbagi denganku tentangg apa yang
kau rasakan ? Tak lagikah kau mempercayaiku, sedang rasa hatiku masih tak ingin
berpaling darimu.... Aku disekap rindu bergelombang. Riaknya menyakitkan karena
sisi lain hatiku mengatakan kepalsuan. Ada rindu nyata yang kurasakan.
Tak sanggup lagi menahan semua yang kurasakan, tangisku pecah
dan kau hanya diam mendengarkan.
“Sejak aku menikah, aku terus mencari jejak kakimu. Tapi tak
pernah bisa kutemukan.” Aku mengungkap kejujuran. Kini kau kutemukan, namun aku
tak lagi mengenalmu sebagaimana terakhir kita dipertemukan.
Kau, And, hanya ber-hmmm, lalu diam.
Benakku masih menyimpan
bermilyar pertanyaan. Mengapa, And? Mengapa kau setega itu padaku. Memutus
hubungkan yang aku tahu hanya hubungan pertemanan dengan kalimat menyakitkan.
Aku belajar memupus harapan. Aku belajar menerima kenyataan bahwa sejak kita
dipertemukan kita hanya cocok dengan hobi yang memiliki kesamaan. Bukan bersama
untuk memulai sebuah hubungan. Pun sejak kita kembali dipertemukan dalam sebuah
perjumpaan yang tidak kita inginkan. Aku terus menjaga jarak agar hubungan
pertemanan yang kita jalin tetap indah tanpa perselisihan. Tapi aku keliru. Dalam
diam kau menyimpan semua kasih sayang. Dan maaf karena aku tak pernah paham.
Meski aku bisa merasakan “rasa” yang kau simpan, namun aku harus bertahan
karena aku tahu kau memiliki keluarga yang layak kau banggakan. Kau berstatus
sebagai suami seseorang, sementara aku masih menapaki jejak langkah yang pernah
kau tinggalkan.
Maka mengapa saat Tuhan mengirim jodohku, kau malah menjauh
dariku. Kukatakan niat pernikahanku, lalu kau hilang dari hidupku. Dan semua
selesai hingga tahun berganti dengan hal-hal baru. Aku menemukan kembali
nomer kontakmu.
Aku mengawali untuk kembali menghubungimu. Aku berharap bisa
mengisahkan dengan kejujuran hatiku tentang perasaan yang kusimpan padamu,
meski aku tahu aku keliru. Hingga keluar kalimat yang tak pernah ingin
kukatakan padamu. Meluncur begitu saja tanpa aku bisa mengendalikan perasaanku.
“Dulu, saat kita masih sering saling berkirim puisi rindu,
aku berharap akulah sosok yang kau gambarkan dalam tulisanmu.” Ujarku dengan
isak tergugu. Namun sepenuh hati saat itu aku merasa lepas dari beribu beban
yang menghimpitku.
“Sungguhkah?” Katamu dari seberang telpon seperti tak pernah
tahu. Sepi. Dan aku menunggu suara lembutmu.
“Mosok sih?” Hanya itu yang keluar dari bibirmu. Duhai, seolah
kau tengah sibuk dengan pekerjaan, yang menurutku masih bisa menunggu.
Hei, bukankah kau tadi bilang akan keluar khusus untuk bisa
bicara denganku? Lalu mengapa kau tak hirau dengan kalimat dan perkataanku?!?
Suaramu itu, And.
Suara yang mengundang kerinduan hatiku. Berdosakah aku bila masih mengharap
bisa kembali bertemu, atau sekedar mengguntai kata untuk tahu apa kabarmu?
Sayangnya, And, aku tak bisa membaca garis wajah atau makna
kalimatmu. Dan aku tak pernah tahu bagaimana detak jantungmumu. Andai saja aku
ada di dekatmu, tentu aku bisa mengartikan maksud kalimatmu. Bisa merasakan
getar hatimu. Bisa mendengarkan hembusan nafas kedamaianmu. Sungguh. Itu karena
aku telah paham siapa dirimu.
Tangisku, ungkapan hatiku, kejujuranku dan semua yang kukatakan
padamu malam itu adalah kebenaran yang tak pernah kau tahu. Bertahun aku
menahan dari mengatakan semua itu. Karena aku tahu bukan aku sosok yang kau idamkan
sejak dulu. Kau telah menikah lebih dulu. Jadi aku menyimpan semua dalam hatiku
tanpa sesiapapun yang tahu.
Menyesal aku telah bicara denganmu, merasa berdosa karena aku merasa telah mengkhianati
suamiku. Tapi dari situ aku berharap kau mau percaya padaku. Bahwa itulah
sejumput rasaku. Rasa yang sejak dulu, sejak kita masih berseragam putih biru
selalu kukunci di sudut hatiku.
***
14 Desember 2019
Aku telah mengungkapkan semua dengan kejujuran. Tak ada lagi
beban berhimpit di sudut hatiku terdalam. Semua telah sengaja kubuang dan kulupakan.
Tak kusimpan lagi sisa memori tentang obrolan kita semalam. Atau tangisku yang
tak henti pada ujung malam lengkap dengan sederet penyesalan. Tapi hatiku telah
dipenuhi dengan kelegaan. Ringan bak kapas yang ingin terbang.
Getar handphone berderit pelan. Sebait pesan kudapatkan.
Puisi terakhir darimu sebagai kenangan.
Hitam .... Pahit ....
Namun tak sepahit rasa ini saat harus mengenangmu.
Mungkin akan perlu banyak waktu untuk lalui semua.
Karena penaku sudah tak lagi bernyawa.
Dan tak ada lagi makna untuk goreskan kata.
***
Pengkhianatan akan selalu berakhir dengan penyesalan. Pun
begitu dengan kesetiaan, buahnya akan manis seperti yang ku rasakan.
Mas, aku kangen Mas. Maafkan karena aku oleng dari bahtera
yang kau kemudikan. Namun jangan pernah ragu, karena kata setia itu masih
kupegang. Erat dan kuat, kasihmu takkan kulepaskan.
Kaulah harapan dan mimpi yang kini terwujudkan. Maka jadilah
imamku di Jannah yang Ia janjikan.
***
Saat sebuah kenangan
tentang And kutuliskan, kadang aku berkhayal masih bisa berkirim puisi sayang.
Sering aku membayangkan suara itu begitu merdu membangunkanku dari keterlenaan.
Karena seorang And ....
Dan waktu terus berjalan. Kau, And-ku, namamu masih kusimpan.
Aku mengabadikannya dalam alamat emailku sebagai nama samaran. Sebagaimana nama
pena yang pernah kau gunakan.
And, kaulah bagian potongan keping kehidupan, yang di
dalamnya ikut mewarnai langkahku menuju
masa depan. Bersamamu ada bekal yang kudapatkan. Hingga kini aku terus menulis,
menulis dan menulis dalam kebahagiaan. Bukan tentang puisi cinta seperti yang
pernah kita tuliskan, namun puisi kasih tentang indahnya rasa sayang. Pada
kemanusiaan, pada persahabatan, pada persaudaraan, dan pada kehidupan alam.
Aku menulis dengan kecintaan. Saat mood-ku hilang, maka aku akan diam membawa namamu dalam angan. Bagiku
kau selalu bisa menghadirkan dan memberikan aku selembar ide cemerlang. Yach,
dari bisik angin yang dulu senantiasa kau kirimkan. Dalam desah embun nan penuh
kerinduan.... Tak ada lagi puisi cintamu yang kau kirimkan. Aku terdiam,
menyimak apa yang sedang suamiku katakan.
“Ya, Sayang. Cepatlah pulang. Insyaallah tahun ini panen kita sudah lebih baik
dari tahun silam.” Begitu menenangkan. Begitu mendamaikan. Mengiring tidurku
membentang mimpi masa depan.
Pakuksari 3X, 08 Januari 2020