Thursday, August 9, 2018





Cahaya Dalam Gulita



Hari berlalu.
Membuka laptop kesayangan, Hans membisu. Terduduk lemah, bahkan menulis pun ia tak lagi mau. Hans hanya diam memandang langit biru. Kosong dan kelabu.
Menatapnya dengan lelah, hatiku mulai ikut gundah. Dan waktu terus bertambah. Bergeming. Hans tak jua goyah.
“Maaf. Aku tak lagi sesempurna dulu.” Meraba, mencari tanganku, Hans berkesah pilu.
“Tapi aku selalu tahu, Hans, kau tetap Hansku yang dulu.” Memegang jemari lembutnya, perih. Kutahan isak di dada.
Melangitkan sepotong doa, meski dalam gulita kuingin kembali kau temukan cahaya. Demi merenda asa. Masa, dimana kau dan aku memintal cinta dalam kasih nan bahagia.

(bersambung....)

Tuesday, February 6, 2018





Sebuah catatan hati kepada Ta,
Yang kepadanya semesta mengalirkan segenap cinta




Ta, padamu aku percaya. Sepenuhnya.
Ta, ntah mengapa pula padamu aku justru ingin bercerita.
Meski kita tak pernah bersama, namun aku percaya kaulah satu-satunya teman.
Satu-satunya tempat aku bercurah segala keresahan.
Ta, aku ingin kau tahu yang sebenarnya,
maka Ta, ketahuilah yang sebenarnya.
Aku ikhlas Ta, melakukan semua.
Aku ikhlas Ta, meniatkan dari semula.
Tapi bila niat baikku sudah bercampur dengan jelaga....
Maka segala apa yang kulakukan tak lagi berguna.

Aku memang mengaku bersalah dengan melakukan banyak kesalahan.
Tapi aku berharap bahwa semoga kesalahanku tak melulu jadi alasan.
Bahwa kesalahanku tak melulu jadi permasalahan.
Akankah yang kulakukan bisa menjadi penebus dosaku atas sikapku yang dianggap fatal melebihi batas kesopanan (sementara yang kulakukan adalah menjaga etika tetamu yang tidur telentang sembarangan. Etiskan tamu pria dengan celana pendek berbaring di ruang depan dengan kaki bersilang diangkat ke atas? Aku memang salah Ta. Tapi sekali lagi aku tak punya alasan untuk berbenah. Bukankah seorang yang dinyatakan bersalah tak akan pernah diberi peluang untuk menyatakan alasan?!?)
Bukankah aku juga melakukan tugas-tugas yang dipercayakan dengan penuh pertanggungjawaban? Bahkan kadang diluar batas kemampuan kekuatan yang kuandalkan. Aku tahu diri. Aku tak bisa maksimal. Aku tak pernah bisa melakukan tugas dengan baik mendampingi mereka. Aku tak sesabar ia yang dengan mobilnya numpang menitip anak dan numpang makan. Aku tak sepandai ia yang membuka bengkel dengan kecermatan. Aku tak selincah ia yang bisa bermulut manis disana-sini.
Tapi aku juga tak senyinyir ia, Ta. Yang dengan lidahnya justru menguatkan pihak lain semakin memusuhi kami. Aku tak sehina ia yang justru dengan lidahnya malah dikatakan bermulut perempuan. Aku tak suka mengadu, Ta. Selama aku bisa menanganinya, aku akan menyelesaikannya.
Dan semua keburukan sikapnya dalam hatiku hanya ku simpan. Tipuannya, muslihatnya, aku sudah memegang kartu matinya. Tapi justru karena itu aku juga harus menghindarinya. Karena satu hal yang aku percaya bahwa hanya ada dua jalan untuk dapat bangkit di dunia ini. DENGAN KEMAMPUAN SENDIRI ATAU DENGAN KELEMAHAN ORANG LAIN. Dan aku lebih memilih harus berjuang dengan kemampuanku sendiri. Aku tak mau peduli pada mereka, adik-adik yang padanya aku menaruh harapan. Adik-adik yang padanya aku berharap akan sebuah masa depan. Aku harus rela membiarkan mereka menyulam dan merajut sendiri dengan sepenuh kekuatan yang sudah mereka hasilkan. Karena aku percaya, saatnya sudah datang. Mereka sudah siap ditinggalkan.
Dalam keseharian aku tertekan, Ta.
Tak ada yang mau tahu isi hatiku. Mereka hanya tahu aku dibayar untuk itu. Untuk sakit hati itu?!? Ya. Paketnya jadi satu.
Ta, aku tak pernah berharap dibayar dengan uang jutaan. Atau dengan penghargaan yang memperlihatkan namaku tertera dengan kebanggaan. Tidak, Ta !!! Aku hanya berharap bahwa kerja yang kulakukan, pengabdian yang kuagungkan layak mendapat tempat seperti yang kuharapkan. Bukan dibalas dengan celaan. Bukan dibalas dengan       cercaan.
Aku seorang penulis, Ta. Tak layak juga bukan kalau penulis harus menulis diluar yang diingnkan. Skenario itu milikku, Ta. Bukan mereka yang berhak mengaturnya. Tapi tidak. Ada banyak hal yang berubah dari rencana semula. Visi misi indah yang dulu sempat kukecap sesaat kini menjadi cuka pahit yang harus kutelan sendiri. Inikah visi misi pengabdianku, Ta? Dengan tegas aku katakan, TIDAK !!!
Maka aku memutuskan keluar dari semua yang kurasakan. Ketidaknyamanan. Dimusuhi dan kata-kataku tidak ada yang dibenarkan. Bahkan saat aku hanya hanya berbagi informasi saja, sepertinya aku sudah dicekal. Tapi persetan dengan polahnya! Yang pasti sudah banyak yang tahu belang punggungnya. Penipu ulung sepertinya semoga menunggu disadarkan oleh pihak lain saja. Tokh aku sudah memutuskan untuk mengalah. Mengalah demi melayani suami bagiku bisa jadi alasan masuk akal dari pada melihat kebencian di mata munafiknya yang padaku tidak pernah bersahabat.
Atau mungkin aku membahayakan posisinya, Ta?!? Aneh bukan ?!? Aku sudah bosan terlibat dalam kepengurusan. Sebagaimana yang kau tahu selama ini, Batam sudah menguras habis tenaga dan pikiranku dalam semua jenis kesibukan. Di KSR PMI yang di sana aku bisa berbagi cinta.
 Di English Club yang di sana aku bertambah ketrampilan. Atau di Jurnalistik, yang bersama mereka aku bisa bebas bercuap mengolah kata tanpa cekal?!?
Ah, entahlah, Ta. Aku tak pernah paham pikiran kotornya. Biarkan saja. Yang penting adik-adik bertahan dalam kebaikan. Bergabung dan belajar akan jadi bekal terbaik bagi mereka untuk masa depan. Masa yang tidak akan pernah kita temui di kemudian. Insaa Allah mereka diberi kekuatan bertahan, berlimpah kesehatan, ditambah kesejahteraan.
Amin, Ta. Hanya itu doa yang kumohonkan.
Jangan dulu pergi dan berlalu dariku, Ta. Aku masih  ingin dan akan selalu berbagi cerita.


Nglipar, 07/02/2018