Mugas,
medio Juli 2016
Surat
terbuka untuk sahabatku tercinta.
Seorang
saudara yang kutemukan saat aku ada,
jauh, di perantauan sana….
Ini tentang kecewaku. Ini tentang sakit hatiku.
Aku salah mengenalimu.
Assalamu’alaikum,
Mbak,
Maaf bila Lebaran kali ini kita harus berbeda pendapat.
Sejujurnya
aku mengagumimu. Setulusnya aku menyayangimu, sebagaimana saudaraku. Entah,
apakah waktu sekian tahun yang berlalu telah mengubahmu. Ataukah memang aku
yang tak pernah benar-benar mengenalmu. Aku sungguh menyayangkan hal itu.
Semoga aku yang salah mengenalimu. Hingga saat segala perubahan itu terjadi
pada dirimu aku tak perlu menyesal telah menyayangi dan mengasihimu.
Aku
menyayangimu. Pada jauh waktu sebelum kita menemukan kebahagiaan versi kita yang
sekarang. Kau telah bahagia dengan keluarga kecilmu, pun begitu denganku yang
telah menemukan belahan jiwaku.
Sekian
waktu yang berlalu tak juga mengubah rasa sayangku padamu hingga kerikil tajam
menyandungku dengan keraguan yang menghempas rasa sayangku. Namun aku masih dan
terus mengunjungimu. Karena rasa sayangku. Karena hutang budiku. Dan karena
menjaga silaturahim. Kebaikanmu menutupi semua keraguanku meski aku mulai tak
percaya dengan pendengaranku. Aku mulai tak percaya dengan penglihatanku.
Akukah yang salah menilaimu?!? Entah. Aku masih juga tak tahu. Kalimat
penghiburanmu di saat-saat sedihku. Kata-kata bijakmu dalam kecewaku. Betapa
dengan semua itu aku masih dan terus mengenalimu, bahwa kaulah sahabat
terbaikku. Saudaraku yang kumiliki saat aku ada dalam masa perantauanku.
Memelukku saat dalam kedukaanku. Dan itu dulu, jauh saat aku belum bertemu mas yang
kini jadi suamiku aku sudah pernah meragukanmu. Aku pernah tak percaya dengan
pendengaran dan penglihatanku tentangmu.
Hingga
tiba masa membahagiakan itu. Kau bertanya padaku sebuah nama untuk anak
temanmu. Apa maksud semua itu, aku masih juga tak tahu. Yang pasti setelah itu
kau memiliki seorang bayi dengan nama indah sebagaimana harapan dan doa-doamu.
Itu yang kutahu. Aku turut dalam bahagiamu. Ikut bersukacita dengan kehadiran
bayi mungilmu. Menunggu waktu, kapan, untuk bisa bertemu bocah kecil yang
selalu ada dalam ceritamu. Ah, rasanya tentu kehadiran bocah itu membuaimu.
Hingga selembar foto bocah itu kau kirim untukku. Manis. Kurasa lincah. Matanya
bak kejora, seperti nama yang kau berikan untuk disandangnya. Ya, Kejora.
Setidaknya begitulah aku menerjemahkan arti nama bocah itu secara bebasnya.
Cemerlang. Kurasa secerlang harapan yang kau berikan padanya. Seiring
berjalannya waktu aku kemudian tahu siapa bocah kecil yang kau pungut dan kau
asuh di keluargamu. Kau angkat menjadi “anakmu”.
Lalu
aku mengunjungimu. Lagi dan untuk ke sekian kali. Tahun berapa waktu itu aku
tak lagi mengingatnya. Yang pasti aku belum mengenal mas, yang kini jadi
suamiku. Mungkin kau sudah bosan padaku. Tapi karena aku menghormatimu aku
terus mengunjungimu. Demi menjaga silaturahim indah yang pernah kau ajarkan
padaku. Dan karena kau selalu ramah menyambutku. Selalu tersenyum menjemputku. Melayang
anganku untuk bisa bertemu dengan bocah kecil dalam foto yang kau kirim
untukku. Aku juga merindunya. Ingin menyapanya. Memeluknya sebagaimana kau
selalu memelukku dengan mesra saat kita jumpa.
Ah,
aku berandai-andai karena ternyata kenyataan yang kudapatkan jauh dari harapan.
Saat aku menjumpaimu dan bocah kecil lucu dalam foto itu…. Menyakitkan. Sangat
mengecewakan. Tentu kau masih ingat apa kalimat pertama yang bocah kecil itu
ucapkan saat aku pertama kali menyapanya. Kau masih mengingatnya, kan, Mbak?!?
Tentu saja kau harus mengingatnya. Itu kosa kata terburuk yang dia ucapkan.
Kata-kata terburuk sekalipun diucapkan oleh orangtua. Kalau kau sudah
melupakannya, baik. Aku akan sedikit
membuatmu ingat kapan pertama kali aku bertemu bocah itu. Waktu itu rumahmu
baru saja dibongkar. Direnovasi untuk menjadi sebuah toko seluas yang sekarang.
Jadi tahun berapa itu, Mbak?!? Yang pasti aku juga masih belum mengenal mas,
yang sekarang jadi suamiku. Kalau tak salah ingat saat itu puasa tapi tahun
berapa aku lupa. Dan katamu bocah itu mudah dendam?!? Lalu dendam semacam apa
yang dia simpan padaku bila itu kali pertama aku bertemu?!? Atau kau memang
mengajarkan dia untuk jadi pendendam, Mbak?!?
Tidak! Aku tahu itu bukan mbak Niekku. Kau lembut hati sebagaimana aku
mengenalmu 20 tahun lalu. Kau bahkan mudah menangis dan tersentuh untuk hal-hal
kecil yang menggugah nuranimu. Aku tahu pasti itu. Kau orang yang tak tegaan
pada kami, teman-teman seperjuanganmu. Rekan-rekan kegiatanmu. Kaulah ibu yang
menjaga kami adik-adik tingkatmu. Aku membanggakanmu. Aku bahkan menangisimu
saat habis masa kontrakmu. Aku membenci perpisahan kita dulu karena kau meninggalkanku.
Setelah pertemuan pertamaku dengan "anakmu" waktu itu aku kau inapkan di rumah saudara kembarmu. Aku
ingat karena aku makan sahur bersama mereka, dihidangkan tempe kacang nikmat,
sebagai salah satu makanan langka menjadi momen yang tak akan pernah bisa aku
lupa. Dari situ, dari obrolan yang keluar bersama keluarga kecil itu aku
sedikit tahu bagaimana kelakuan bocah kecil itu. Aku memupus kecewaku. Biasa.
Rasaku, anak kecil memang suka bertingkah untuk mendapat perhatian tertentu.
Aku mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut bocah itu saat ia membalas ucapan
salamku dengan kata jorok yang tak layak terucap dari seorang anak, yang
statusnya “anakmu”.
Dan
waktu terus berlalu. Aku masih saja ke rumahmu, dan masih belum mengenal mas
yang sekarang jadi suamiku. Beberapa kali mengunjungimu, dan selalu, saat
pulang harus memendam rasa sakit mendengar ucapan tak senonoh dari bocah yang
statusnya adalah “anakmu”. Aku tahu bahwa aku harus mengabaikan ucapan "anakmu", anak
kecil yang butuh waktu untuk berproses seperti katamu. Itu karena aku juga punya banyak
keponakan yang turut kuasuh dengan caraku. Hingga aku masih menganggap wajar
kenakalan yang dilakukan “anakmu”.
Mbak,
Aku
mengasihimu. Jadi aku tahu Mbak kecewa dengan kalimatku. Mbak kecewa dengan
tulisanku. Seolah aku tak pernah ingat seperti apa dan bagaimana aku dulu. Tapi
sekali lagi ijinkan aku mencurahkan isi hatiku. Bukan untuk mengguruimu. Bukan
maksudku menyakiti hatimu. Aku hanya ingin Mbak sedikit tahu bahwa sejak dulu,
sebelum aku ketemu mas yang sekarang jadi suamiku, aku sudah sering tersakiti
oleh kata dan kalimat “anakmu”. Orang-orang sekitarmu mungkin dan sepertinya hanya
menutup mata telinga mereka karena rasa segan pada nama besar keluargamu.
Kalau katamu aku harus bisa mengerti "anakmu", aku tak akan pernah mau. Aku bukan karyawanmu. Aku bukan orang upahanmu. Karyawanmu,
tentu saja mereka berusaha memahami “anakmu” karena mereka orang upahanmu.
Karyawanmu, tentu saja harus mau jadi anjing yang harus menurut kata-kata
anakmu. Segala perintah dan permintaan “anakmu” adalah KEHARUSAN. Karena kalau
mereka tidak melakukan apa yang “anakmu” perintahkan, maka murkamu yang mereka
dapatkan. Atau kalau tidak maka anakmu akan menjadikan mereka sebagai bahan
bual-bualan atau tiang samsak yang siap dipukul atau dibantai kapan saja. Atau
paling tidak imbas lain yang mereka dapatkan
gaji mereka jangan-jangan malah Mbak tahan.
Maaf, Mbak. Jauh-jauh hari sebelum aku bertemu
dan menikah dengan mas, aku sudah berusaha memahami “anakmu”. Tapi sungguh
karena aku terlalu bodoh maka aku tidak
tahu bagaimana kriteria “anakmu”. Hingga saat adik mas bekerja sebagai orang
upahanmu, atas permintaanku, tiap kali dia cerita tentang “anakmu” aku tak
pernah menggubris tentang itu. Kenapa, Mbak? Karena aku tahu itu hanya akan
merusak hubungan baikku denganmu, dengan keluargamu. Eman, Mbak. Hubungan yang terjaga
selama 20 tahun harus putus hanya gara-gara anak kecil yang seharusnya bisa
kita kendalikan. Tapi aku tidak bisa terima diperlakukan seenaknya oleh anak kecil yang kata orang adalah "anakmu". Bagaimana mungkin ?!? Kau baik padaku. Suamimu baik padaku. Keluargamu? Aku segan dan respek pada mereka tiap waktu. Tapi "anakmu"?!? Dari mana kau pungut bocah liar itu?!?
Jadi
Mbak, mengingat kembali saat lebaran kemarin. Sejak awal “anakmu” marah padaku
aku sudah mau pulang. Tapi semua orang yang
ada di situ, semua karyawanmu minta tolong padaku, ‘Jangan pergi. Bantu kami di
sini. Temani Ibu dan anaknya biar tidak mengusili kami. Banyak dari kami yang
sudah menjadi korban.’ Maka aku bertahan.
Ah,
Mbak. Aku sangat menyayangkan. Kebaikan dan kebesaran hatimu kalah oleh seorang
bocah. Apakah karena merasa bahwa kau tidak pernah mengandungnya maka kau
merasa salah bila kau sedikit bersikap tegas?!? Setiap kita butuh waktu untuk
berproses. Aku tahu. Tapi yang mungkin Mbak lupakan adalah bahwa proses dan
waktu yang berjalan menuju kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Bukan seperti itu yang aku dapatkan. Berapa lama?!? Ntah. Aku tak mau membahas karena bukan hanya itu yang jadi permasalahan. Sayang bila
akhirnya nama baik keluarga Mbak cemar karena prilaku salah dari bocah
yang Mbak pungut begitu saja.
Satu
lagi yang Mbak perlu tahu. “anakmu” adalah pelaku pelecehan seksual terbaik
yang didukung orangtuanya. Korbannya, karyawan tak berdosa yang tak bisa
berbuat apa-apa. Pasang CCTV jangan hanya di toko, Mbak. Kalau perlu di tiap
sudut rumahmu, shingga Mbak tau hal
buruk apa saja yang sudah dilakukan “anakmu” pada karyawan-karyawanmu. Professional
saja, Mbak. Kalau mereka keluar dari situ, itu bukan karena amarah atau
cerewetmu. Mereka hanya menjaga kemungkinan untuk tidak jadi korban “anakmu”. Karyawan
bukan anjing peliharaan, Mbak. Yang tiap saat bisa semaunya kita perlakukan. Beri
mereka makan yang layak, bukan makanan yang diambil dari sisa mainan anak-anak.
“anakmu” memperlakukan karyawan tak lebih dari binatang peliharaan yang aku
yakin di benakmupun tak pernah terlintas. Aku lebih suka membantu di dapur dan memperhatikan betapa sikap yang diperlihatkan
“anakmu” lebih menunjukkan semua itu.
Sadarilah,
Mbak. Sekian waktu aku mengenal “anakmu” tak ada hal baik yang kutemukan sejak
dulu selain pujian yang sering kau berikan tiap waktu. Pujian hanya huruf P
yang tersembunyi dibalik kata ujian, Mbak. Dan semoga Mbak selalu ingat, jangan
sampai seorang anak merusak nilai raport kita di mata Allah swt.
Sekali
lagi, Mbak, kembalilah menjadi mbak Niekku yang dulu.
Sekarang
aku sadar bahwa sejak kejadian kemarin itu aku memang orang lain buatmu. Aku memang
bukan apa-apamu. Tapi buatku, mbak Niek tetap saudaraku. Mbak adalah sahabat
terbaikku dalam suka dukaku. Mbaklah yang membimbingku, karenanya akan selalu
kuingat semua nasehat dan petunjukmu. Semua kalimat bijakmu masih hangat di
memoriku. Masih banyak catatan tanganmu yang sampai saat ini kusimpan untuk
semangatku.
Jadi
Mbak, masih ingat tentang kerja profesional kan? Jangan campur adukkan masalah
kita dengan orang-orang sekitarmu. Kerja adalah kerja. Sementara masalah kita
adalah intern kita. Itu tentang persahabatan kita, bukan tentang kerja.
Maaf
bila tulisan ini banyak menyinggung perasaanmu. Sekali lagi bukan maksudku
mengguruimu. Tak hendak aku mengajarimu karena kau akan slalu jadi guru terbaikku.
Semoga
mbak Niek tetap masih bisa mengenaliku.
Aku
selalu menyayangimu.
Wassalam wr. wb.