Masa Panen Pertama
Wonosari dengan panas mentari.
Sesekali mendung memayungi. Hari sudah agak siang. Sekira pukul delapan, aku
menyiapkan bekal untuk makan siang. Dengan lauk seadanya, dua botol minum kuisi
air putih penuh cinta. Alat perang sudah disiapkan. Sabit, cangkul, karung
plastik beserta talinya. Kami memang mau ke ladang. Sudah waktunya memanen
kacang, juga jagung yang mulai kuning kepanasan.
Berangkat dengan langkah-langkah
ringan, ladang masih nampak hijau dari kejauhan. Beberapa lahan garapan sudah
terlihat lengang dari panenan. Beberapa yang lain masih menyisakan padi kuning
kehijauan yang belum tersentuh tangan.
“Jagungnya tolong mbok petik ya, Dik.” Mas mulai
memberikan instruksi padaku. Maklum, karena ini kali pertama aku ikut memanen
hasil ladang.
“Kupas kulitnya sekalian daripada
jadi sampah yang terbuang. Jadi yang kita bawa pulang hanya jagungnya, kulitnya
biar jadi pupuk alami di ladang.” Mas menambahkan, sementara aku mengangguk hanya
mengiyakan.
“Tidak usah dibawa-bawa kantongnya.
Berat. Biar saja di sini.” Mas mencegah saat melihat aku mengangkat karung
dengan jagung yang sudah kuisikan.
“Tak apa jagung-jagungnya cukup kau
lempar.” Mas memastikan aku sudah paham.
“Bisakan?” Mas coba menanyakan padaku
saat aku kebingungan. Mosok jagungnya dilempar? Belepot tanah sisa hujan, kan
sayang? Tapi sekali lagi aku menggut-manggut, mendengar apa yang dia sampaikan.
Membawa botol minum bersama sabit dan
cangkulnya, Mas bergegas menuju lahan bagian atas. Ke bebatuan cadas yang lebih
terasa panas.
“Sisa kacang-kacang di atas sana biar
Mas yang cabut.” Berbagi tugas, Mas ingin pekerjaan ladang segera selesai
sebelum terik keburu siang. Berbenah, Mas merapikan tas wadah bekal yang dia
letak di tempat teduh nan rimbun dengan pokok-pokok kayu putih di pinggir
ladang. Meninggalkan bekal makan dan minum untuk lebih ada di dekatku, agar aku
lebih mudah menjangkau saat perlu.
Menyaksikan hijau lahan luas, seolah
liar yang nampak di kejauhan. Menatap keindahan alam yang kutemukan.
Burung-burung beterbangan. Bayu semilir mesra dengan kelembutan. Sejenak
membuat aku terlena bahwa tugasku yang utama memetik jagung dari pohonnya.
Aku melihat buah-buah jagung yang
menguning kering di masing-masing batang. Tinggal mengupas kulitnya yang sudah
mengeras, kupatahkan buah jagung dengan berusaha tangkas. Inilah kehidupan
petani desa yang benar-benar keras. Keras. Sekeras tanah dasar ladang yang
kujadikan pijakan.
Kuperhatikan, tanah yang kuinjak
bukan tanah gembur dengan humus yang riang menghitam. Dari jauh tanah ladang
ini seolah batu-batu karang yang bisa ditumbuhi aneka ragam pangan. Kebesaran
Tuhan bila warganya mau mengolah dengan telaten dan keuletan.
Kuamati dengan seksama. Sekali lagi
ini bukan tanah subur yang biasanya digunakan untuk berladang. Tanah ini
beralas batu-batu karang. Sebagiannya adalah tebing kapur terjal, dengan
permukaan batu-batu lebar yang ditutup dengan pupuk kandang agar bisa memberi
hasil maksimal.
Keras. Tanah ini sekeras hidup
masyarakatnya yang beberapa juga pemalas. Banyak kaum lelakinya yang hanya
berlenggang kangkung di rumah, sementara para perempuan berjuang di ladang demi
menyambung hidup yang harus dilanjutkan.
Menyeka keringat yang mulai menebal,
aku benahi topi yang sering terbang ditiup angin nakal. Inilah hidupku yang
sekarang. Mengikuti suami sebagai bukti pelayanan, inilah bentuk pengabdian
yang harus kujalankan. Tak boleh takut kulitku mengelupas. Tak boleh takut kulitku
akan sehitam jelaga kompor gas. Juga tak boleh takut bila akhirnya aku
menderita gatal-gatal karena duri halus dari daun jagung yang kupatahkan.
Sengsara. Panas, gatal, perih, semua kurasakan. Mungkin saatnya melupakan kulit
cantik semulus bintang iklan. Tokh aku pernah mengerti rasanya berkulit eksotis
sepekat sawo matang. Aku juga pernah mengerti rasanya punya kulit bersih waktu
jadi pekerja kantoran.
“Jadi, nikmati yang kau dapatkan.”
Bisikku pada hati kecil di dalam.
Jagung demi jagung kukumpulkan.
Karung plastik sudah berhasil aku penuhkan. Berikat-ikat panenan kacang tanah
sudah berhasil disatukan. Mas masih sibuk memotong rumput gajah untuk pakan.
Hari hampir siang. Kami berhenti sejenak untuk rehat dan menikmati bekal makan
siang. Sambal matah dan tempe goreng jadi santapan berbalut kesederhanaan. Nuansa
hijau dan langit biru di ladang begitu kontras menambah rasa lapar. Aroma
rumput segar menguar ditimpa suara gemercik air sungai di kejauhan. Burung
hutan beterbangan. Inilah keindahan alam. Bayaran atas penat peluh yang
kuberikan, bukti pengabdian pada suami, yang padanya hidup kuserahkan.
Maka nikmat mana lagi yang
kudustakan, bila di sini semua kudapatkan tengah kuncup, dan mekar....
(Nglipar, 03/03/2019 21.06 wib)