Monday, March 4, 2019


     Hati Yang Terserak Malam






Lembut, 
sinar mata itu menatap penuh kerinduan.
Meski enggan melepaskan, 
namun kata yang diucap sungguh menguatkan.
“Aku ikhlas. Lillahi Ta’ala.” Ucapnya mantap dengan kepastian.
Dan airmata yang kutahan berderai, tumpah ruah tak karuan.
Seberat apapun keputusan yang kutentukan,
Aku berharap ini hanya sebagai batu ujian.
Yang semoga menguatkan.
Yang semoga menabahkan.
Memberi kami kebahagiaan 

Rabb,
Yakinkan kamisaat kami ada dalam kebersamaan.
 tentang sebuah harapan,
Akan indahnya surga yang Kau janjikan.
Beri kami jalan untuk mendapat keridhoan.
Meraih kepastian dalam mengayuh bahtera kehidupan.
Jangan biarkan kami terombang-ambing gelombang,
Yang kesehariannya datang ‘ndak mengoyakkan
Layar kokoh yang tengah coba kami bentangkan.
Beri dan limpahi kami kekuatan.
Lindungi dan beri kami ketegaran.
Demi menjaga hati agar tak lagi terkoyak malam.
Hingga tak kan berserak diterpa badai yang datang.
Kegelapan malam bagi kami sudah cukup menakutkan,
Jangan biarkan,
Angin kencang meniup prahara dan memporakkan
Segala harap yang tengah kami langitkan.
Pada-Mu Ya Rabb,
Dengan segenap kepasrahan kami serahkan.
Dalam kuasa-Mu Pemilik Kekuatan.



Nglipar, 04/03/2019    06.05 wib.


Sunday, March 3, 2019

Cahaya Dalam Gulita


Hari berlalu.
Membuka laptop kesayangan, Hans membisu. Terduduk lemah, bahkan menulis pun ia tak lagi mau. Hans hanya diam memandang langit biru. Kosong dan kelabu.
Menatapnya dengan lelah, hatiku mulai ikut gundah. Dan waktu terus bertambah. Bergeming. Hans tak jua goyah.
“Maaf. Aku tak lagi sesempurna dulu.” Meraba, mencari tanganku, Hans berkesah pilu. Mataku kembali memanas menahan ragu. Hans-ku....
“Tapi aku selalu tahu, Hans, kau tetap Hansku yang dulu.” Memegang jemari lembutnya, perih. Kutahan isak di dada.
Melangitkan sepotong doa, meski dalam gulita kuingin kembali kau temukan cahaya. Demi merenda asa. Masa, dimana kau dan aku memintal cinta dalam kasih nan bahagia.
***
Kenanganku melaju pada hari kelabu saat Hans harus mengalami hari pahit pilu. Kami bersama pergi menuju perpustakaan daerah untuk mencari referensi sebuah buku. Laju motor yang membawaku tak bisa dibilang kencang, bahkan hanya perlahan karena sambil menikmati pagi cerah suasana Minggu. Entah mengapa dari belakang kami tetiba menyalip sebuah sedan biru. Mengkilap dengan cahaya lampu membutakan penglihatanku. Hans yang mengendara motor dalam keramaian tak sanggup bertahan menjaga stabilnya motor dari lalu lintas yang semrawut. Kami oleng. Motor menyapu aspal dengan deru. Membanting kiri Hans sengaja menabrak portal jalanan. Dan braakkk !!! Aku tak lagi tahu.
Saat sadar aku hanya merasa pening di kepalaku. Jahitan melingkar di pipiku. Gigiku rompal menyisakan pilu. Hans.... Aku mencarinya setelah tahu di mana keberadaanku. Bangsal putih dengan aroma khas itu.... Hans dan kecelakaan itu. Aku kembali melayang di langit biru, tanpa batas, membumbung hingga kelabu.
Hari berlalu.... aku memudar bersama waktu.  
Menyerpih dalam kelam malam nan beku.
Perjalanan panjangku mulai berlaku.
Satu.
Satu.
Demi satu.
Aku harus menyelesaikan tugasku....


....bersambung....

Masa Panen Pertama 





Wonosari dengan panas mentari. Sesekali mendung memayungi. Hari sudah agak siang. Sekira pukul delapan, aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Dengan lauk seadanya, dua botol minum kuisi air putih penuh cinta. Alat perang sudah disiapkan. Sabit, cangkul, karung plastik beserta talinya. Kami memang mau ke ladang. Sudah waktunya memanen kacang, juga jagung yang mulai kuning kepanasan.

Berangkat dengan langkah-langkah ringan, ladang masih nampak hijau dari kejauhan. Beberapa lahan garapan sudah terlihat lengang dari panenan. Beberapa yang lain masih menyisakan padi kuning kehijauan yang belum tersentuh tangan.

“Jagungnya tolong mbok petik ya, Dik.” Mas mulai memberikan instruksi padaku. Maklum, karena ini kali pertama aku ikut memanen hasil ladang.

“Kupas kulitnya sekalian daripada jadi sampah yang terbuang. Jadi yang kita bawa pulang hanya jagungnya, kulitnya biar jadi pupuk alami di ladang.” Mas menambahkan, sementara aku mengangguk hanya mengiyakan.

“Tidak usah dibawa-bawa kantongnya. Berat. Biar saja di sini.” Mas mencegah saat melihat aku mengangkat karung dengan jagung yang sudah kuisikan.

“Tak apa jagung-jagungnya cukup kau lempar.” Mas memastikan aku sudah paham.

“Bisakan?” Mas coba menanyakan padaku saat aku kebingungan. Mosok jagungnya dilempar? Belepot tanah sisa hujan, kan sayang? Tapi sekali lagi aku menggut-manggut, mendengar apa yang dia sampaikan.

Membawa botol minum bersama sabit dan cangkulnya, Mas bergegas menuju lahan bagian atas. Ke bebatuan cadas yang lebih terasa panas.

“Sisa kacang-kacang di atas sana biar Mas yang cabut.” Berbagi tugas, Mas ingin pekerjaan ladang segera selesai sebelum terik keburu siang. Berbenah, Mas merapikan tas wadah bekal yang dia letak di tempat teduh nan rimbun dengan pokok-pokok kayu putih di pinggir ladang. Meninggalkan bekal makan dan minum untuk lebih ada di dekatku, agar aku lebih mudah menjangkau saat perlu.

Menyaksikan hijau lahan luas, seolah liar yang nampak di kejauhan. Menatap keindahan alam yang kutemukan. Burung-burung beterbangan. Bayu semilir mesra dengan kelembutan. Sejenak membuat aku terlena bahwa tugasku yang utama memetik jagung dari pohonnya.

Aku melihat buah-buah jagung yang menguning kering di masing-masing batang. Tinggal mengupas kulitnya yang sudah mengeras, kupatahkan buah jagung dengan berusaha tangkas. Inilah kehidupan petani desa yang benar-benar keras. Keras. Sekeras tanah dasar ladang yang kujadikan pijakan.

Kuperhatikan, tanah yang kuinjak bukan tanah gembur dengan humus yang riang menghitam. Dari jauh tanah ladang ini seolah batu-batu karang yang bisa ditumbuhi aneka ragam pangan. Kebesaran Tuhan bila warganya mau mengolah dengan telaten dan keuletan.

Kuamati dengan seksama. Sekali lagi ini bukan tanah subur yang biasanya digunakan untuk berladang. Tanah ini beralas batu-batu karang. Sebagiannya adalah tebing kapur terjal, dengan permukaan batu-batu lebar yang ditutup dengan pupuk kandang agar bisa memberi hasil maksimal.

Keras. Tanah ini sekeras hidup masyarakatnya yang beberapa juga pemalas. Banyak kaum lelakinya yang hanya berlenggang kangkung di rumah, sementara para perempuan berjuang di ladang demi menyambung hidup yang harus dilanjutkan.

Menyeka keringat yang mulai menebal, aku benahi topi yang sering terbang ditiup angin nakal. Inilah hidupku yang sekarang. Mengikuti suami sebagai bukti pelayanan, inilah bentuk pengabdian yang harus kujalankan. Tak boleh takut kulitku mengelupas. Tak boleh takut kulitku akan sehitam jelaga kompor gas. Juga tak boleh takut bila akhirnya aku menderita gatal-gatal karena duri halus dari daun jagung yang kupatahkan. Sengsara. Panas, gatal, perih, semua kurasakan. Mungkin saatnya melupakan kulit cantik semulus bintang iklan. Tokh aku pernah mengerti rasanya berkulit eksotis sepekat sawo matang. Aku juga pernah mengerti rasanya punya kulit bersih waktu jadi pekerja kantoran.

“Jadi, nikmati yang kau dapatkan.” Bisikku pada hati kecil di dalam.

Jagung demi jagung kukumpulkan. Karung plastik sudah berhasil aku penuhkan. Berikat-ikat panenan kacang tanah sudah berhasil disatukan. Mas masih sibuk memotong rumput gajah untuk pakan. Hari hampir siang. Kami berhenti sejenak untuk rehat dan menikmati bekal makan siang. Sambal matah dan tempe goreng jadi santapan berbalut kesederhanaan. Nuansa hijau dan langit biru di ladang begitu kontras menambah rasa lapar. Aroma rumput segar menguar ditimpa suara gemercik air sungai di kejauhan. Burung hutan beterbangan. Inilah keindahan alam. Bayaran atas penat peluh yang kuberikan, bukti pengabdian pada suami, yang padanya hidup kuserahkan.

Maka nikmat mana lagi yang kudustakan, bila di sini semua kudapatkan tengah kuncup, dan mekar.... (Nglipar, 03/03/2019   21.06 wib)