Desak
Nyanyian Hati
Dalam
diam dan sepiku malam ini.
Dalam
doa dan pujaku dari hati.
Sebuah
kidung persembahan dari lembah sunyi,
kualun
dalam nada suci panggilan Illahi.
Mengenang
kepergian Mamak,
Sepintal
doa kupatri,
Kulangitkan
pada Sang Hyang Maha Suci.
Ya
Rabb,
ajarkan
padaku tentang sebuah keikhlasan hati....
Mataram
266
Dalam Tujuh
Hari Setelah Mamak Pergi
Pagi,
Senin, 25 Januari 2021
Sebelum
berangkat ke RD, aku baru hendak menyuapi Mamak.
Terpana.
Aku kaget menatap wajah Mamak. Ada yang berbeda.
Entah
apa aku masih tak pernah bisa memastikannya.
Apa
yang berbeda, dan apa yang membuat Mamak beda.
Yang
pasti saat itu aku melihat wajah Mamak begitu bersahaja. Putih penuh cahaya
hingga aku tak bisa mengenalinya. Dalam diam tidurnya aku hanya bilang pada
Mamak bahwa sudah saatnya sarapan.
Seperti
biasa aku menyuapi Mamak dengan bubur yang baru saja kubelikan.
Separo
porsi Mamak bisa makan. Dan aku lega bisa berangkat kerja.
Dalam
hati kecil yang terus bertanya aku masih gamang meninggalkan Mamak begitu saja.
Wajah
siapa?
Dan
mengapa Mamak nampak berbeda.
Aku
masih saja tak hirau dengan berjuta tanya yang ada di benak dan berusaha
melupakannya.
Melupakan
perbedaan dan perubahan Mamak yang begitu kentara.
Selasa,
26 Januari 2021 aku tak ingat secara pasti.
Tinggal
di RD membuat aku harus melakukan semua kegiatan seperti di rumah.
Saat
akan membersihkan meja seperti biasa,
saat aku tengah menyapu di pagi buta, aku merasa seseorang menatapku
dari arah dapur. Wajah yang seperti aku kenali, namun aku tak pasti wajah
siapa.
Hanya
sekilas lalu sosok itu hilang seolah bersembunyi di antara daun singkong yang
rantingnya jarang.
Perasaanku
kembali tidak nyaman. Dalam tanya aku kembali memastikan, siapa yang menemaniku
saat itu tanpa mengenal sosoknya?
Rabb.
Andai
aku boleh bertanya, apakah itu Ibu yang di sedang dalam perjalanan memenuhi
panggilan-Mu?
Setelah
Mamak tiada, aku baru menyadarinya bahwa itu memang Mamak yang menjengukku
dalam perjalanannya menuju Sang Maha.
Waktu
berlalu dari Senin menuju Kamis, 28 Januari.
Seolah
ada yang menggelayut pikiranku. Seolah ada yang menyuruh aku pulang dengan
segera.
Setelah
membeli setengah kilo apokat kesukaan Mamak aku segera pulang.
Hatiku
gamang.
Seolah
ada yang bilang agar aku cepat pulang.
Maka
aku pulang dengan sedikit berkemas membawa beberapa barang keperluan.
Sesampainya
di rumah, mbakyuku mengajak ambil apokat pesanan. Dalam perjalanan itu dia
mengatakan kalau Mamak sudah banyak mengalami perubahan.
Mamak
kesulitan bernafas.
Bicaranya
sudah tak lagi jelas didengarkan.
Selera
makan Mamak juga sudah berkurang.
Mamak
juga sudah kesulitan minum dan menelan.
Ya
Rabb.
Sejak
Senin lalu saat aku menyuapi Mamak, kurasa Mamak memang sudah kesulitan makan.
Minumnya
pun sudah tak lagi mengisap air dari pipet yang kusodorkan.
Alih-alih
menyesap teh yang kutawarkan, Mamak malah meniup air minum yang kuberikan.
Aku
sadar.
Waktu
kebersamaanku dengan Mamak makin berkurang.
Tidak
kembali ke RD aku tau Mamak sudah ngedrop.
Jumat,
29 Januari 2021
Sarapan
pagi dihabiskan Mamak dalam waktu satu jam.
Dari
jam 7 hingga jam 8 Mamak makan separo porsi bubur yang baru kubelikan.
Masih
dengan kondisi pernafasan yang kesulitan.
Beberes
kamar, aku memastikan Mamak kondisinya baik dan aman.
Hingga
siang, waktu menunjukkan pukul 13 dan Mamak aku siapkan bubur dalam porsi
kecil.
Sejak
pukul 13.30 Mamak hanya makan lima kali suapan. Itupun hanya dalam ukuran
seujung sendok makan. Terakhir aku menyuapkan, Mamak malah membuang sendiri
makanan yang sudah ditelan.
Sedikit
patah hati aku coba menyuapi Mamak lagi.
Tak
mau.
Mamak
tak lagi mampu.
Dalam
diam tangis yang kutahan, aku mengajak Mamak beristighfar.
Tangan
dan kaki Mamak dingin.
Aku
coba menggosok Mamak dengan minyak urut supaya hangat.
Mamak
seolah tak mendengar.
Mamak
hanya menyebut Ibunya dan adik yang ia rindukan.
Mbakyuku
datang.
Memasang
selimut dan handuk buat Mamak untuk menghangatkan.
Mamak
masih dalam diam dan menyebut nama Ibu dan adiknya yang sejak lama ia rindukan.
Lalu
adikku datang.
Melihat
kondisi Mamak ia mengajak kami untuk membaca potongan Qur'an bersama.
Surat
Yassin kami kirimkan supaya Mamak sedikit tenang.
Badan
Mamak mulai hangat dan Mamak tidur dengan tenang.
Mbakyu-mbakyuku
mulai berdatangan.
Ada
sedikit kelegaan karena Mamak ditunggui anak-anak yang ia harapkan.
Karenanya,
Sabtu,
30 Januari 2021 aku berangkat kerja.
Selain
Mamak sudah mulai stabil kondisinya,
Mamak
makan dengan satu porsi bubur ayam kesukaan,
Dan
anak-anaknya sudah menunggu dengan seksama.
Aku
harus menyelesaikan tanggung jawabku mengisi materi RD News.
Selepasnya
aku langsung pulang.
Anak
cucu dan buyut berdatangan.
Mamak
sudah melepas rindu yang ia tahan sendirian.
Sekar,
Sreya dan Atta datang ikut berdoa buat Mamak.
Membaca
Al-fatihah buat Mamak,
Mamak
seolah mendapat penghiburan.
Kerinduannya
pada Sekar seolah bisa terlepas begitu saja.
Dan
senja yang datang
Membuat
semua pulang meninggalkan Mamak dengan kami yang berdebar-debar.
Mamak.
Waktu
berlalu dalam senyap.
Mamak
mulai stabil dan membaik kondisinya.
Pagi
datang.
Minggu,
31 Januari 2021 aku solat subuh dalam ketergesaan.
Masih
bisa berkirim doa
Tujuh
kali Al-fatihah kukirim buat Mamak dan Bapak.
Agak
siang aku menyetrika baju-baju Mamak
Yang
tidak kering karena hujan yang panjang.
Dalam
diam aku mendoa dan meminta,
"Ya
Allah,
Bila
memang sudah waktunya Mamak pulang,
Insyaallah
aku ikhlas Lillahi Ta'ala."
Dalam
diamku,
Aku
tidak bisa melihat Mamak merasakan sakit karena luka di lehernya.
Aku
tidak tega melihat Mamak merasakan lubang-lubang yang kian menganga di leher
kurusnya.
Aku
juga tidak sampai hati melihat mbakyuku yang menahan tangis tiap kali merawat
Mamak kesakitan.
Selesai
menyetrika aku menjenguk Mamak.
Mamak
membuka mata.
Dan
aku kembali terpana.
Tatapan
mata Mamak,
Tatapan
mata yang lama tak kutemukan.
Tatapan
mata yang kurindukan.
Mamak
seolah ingin berkata.
Tapi
aku begitu bodoh tidak bisa paham.
Kubetulkan
letak kaki Mamak sambil mengucap shalawat.
"Kaki
Mamak tak luruskan yo, ben enak." Ujarku sambil bershalawat.
Kubetulkan
selimut supaya Mamak tidak kedinginan.
Dan
lalu Mamak kutinggalkan beberes halaman.
Tak
berapa lama mbakyuku berteriak.
Dan
saat itulah aku sadar.
Tepat
waktu menunjuk pukul 8.40 wib.
Mamak
pergi meninggalkanku menuju keabadian.
Dalam
tidurnya Mamak tersenyum tenang.
Pejam
matanya begitu mendamaikan.
Bila
kemarin aku mendapati tubuh Mamak dalam kondisi lebam.
Tangan
dan wajahnya menghitam.
Telapak
kaki dan tangan kedinginan.
Pagi
muram itu wajah putih mulus Mamak kembali kudapatkan.
Mamak
diam.
Kuajak
istighfar,
Mamak
tak lagi memberikan jawaban.
Aku
menangis.
Kupeluk
Mamak.
Aku
masih tidak percaya Mamak pulang.
Melihat
gerakan nafas di dadanya yang tak lagi kudapatkan,
Maka
didadanya kubisikkan,
"Mak,
insyaallah aku ikhlas Mamak pulang."
Dan
kini,
Genap
tujuh hari sudah Mamak pulang.
Sowan.
Menghadap
Sang Rahman dalam kedamaian.
Nderek
Gusti Pangeran.
Tuan
segala Tuan.
Gusti
Bendara yang dirindukan.
Terimakasih
ya Rabb.
Aku
bersyukur.
Insyaallah
Mamak pulang menghadap-Mu dengan keridhoan.
Memanggil
dan menyebut nama-Mu
Dengan
keagungan.
Mengharap
ampunan dari-Mu
Dengan
ketulusan.
Kini
Mamak sudah bertemu dengan Bapak.
Bertemu
pula dengan orangtua dan adik yang ia rindukan.
Yaa
Rabb.
Tempatkan
mereka berdua di sisi-Mu.
Di
surga suci-Mu.
Di
antara orang-orang beriman yang menjadi kekasih-Mu.
Kasihilah
mereka berdua.
Yang
mengasihiku sejak lahir hingga dewasa.
Ampuni
dosa-dosa mereka, dan terimalah semua amal baiknya.
Lapangkan
dan terangi kuburnya dengan cahaya.
Dan
jagalah mereka dari fitnah kubur dan dari siksa api neraka.
Dalam
tujuh hari mengenang Mamak.
My
best Mom of the year
Kini
aku baru menyadari,
Mamaklah
yang menemaniku saat bersih-bersih di RD.
Wajah
putih itulah yang kukenali.
Dan
aku bisa memastikan sekali lagi.
Bahwa
wajah itu
Memang
sebenar wajah Mamak yang akan pergi....
catatan hati pada 12 Februari 2021
06.23 wib