Saturday, November 4, 2017



Tragedi Sebuah Kursi



“Gayanya itu lho. Sangat tidak sopan dan keterlaluan! Sudah perempuan, merokok di depan umum, mana kakinya diangkat, jigrang seenak hati sambil ngadep kopi. Kayak putri raja. Memalukan.” Seorang Bapak datang. Mengeluh perlakuan tak senonoh yang dia dapatkan saat berharap sebuah bantuan.
Mengisahkan dua putranya yang mengalami kelainan langka, Muscullar Dhystrhopy, sebut saja Pak Basri, mengajukan permohonan bantuan kursi roda pada sebuah organisai yang menawarkan bantuan ini. Sebuah organisasi difabel yang ada di Semarang, yang kepanitiaannya diurus oleh beberapa orang dari sebuah organisasi memberikan kesempatan. Dan Pak Basri tak mau melewatkan kesempatan dengan berharap putra-putrinya mendapat bantuan kursi yang memenuhi standar kesehatan.
Dan setelah menunggu beberapa waktu, saat yang ditunggupun tibalah, hari dimana pengukuran kursi roda dilakukan. Pak Basri dan dua buah hatinya (A dan B) ikut mengantri di lokasi pengukuran yang diadakan di Aula sebuah dinas. Menggunakan kursi roda bantuan milik komunitas yang mereka ikuti, sedikit was-was mulai mengisi hati saat antrian makin mendekati. Bukan apa-apa, hanya saja ada seseorang yang mengancam mencoret nama mereka dari daftar antrian.
Diancam oleh seseorang yang mereka kenali, (sebut saja X) rasa takut makin menguasai. Si X mengancam dan meneror A dan B dengan mengatakan, bahwa dia berhak mencoret nama A dan B dari daftar pemohon kursi roda karena selama ini X terlibat permusuhan pribadi dengan A dan B. Tak pelak lagi. Karena diancam dengan cara yang diluar dugaan mereka, maka A dan B tak lagi berniat mengharap kursi roda yang semula sangat mereka ingini. Pasrah. Meski kursi roda yang mereka gunakan saat ini adalah milik organisasi/komunitas yang mereka ikuti, mereka tak menghendaki kursi roda baru lagi. Memupus harapan, itulah keputusan mereka saat ini.
Alkisah di sebuah negeri.... X pernah mencoba mengatakan pada masyarakat bahwa kursi roda yang dimilik A dan B, sebagaimana kursi roda lain yang dibagikan oleh komunitas yang diikuti oleh A dan B tidak memenuhi persyaratan untuk digunakan karena akan merusak struktur tulang. Tentu orang paham bahwa hal seperti tersebut sangat bisa dibenarkan. Akan tetapi tentu saja masyarakat akan kembali mempertanyakan, kalau kursi roda yang selama ini digunakan oleh A dan B, yang ternyata tidak memenuhi syarat perbaikan struktur tulang kenapa diminta untuk disumbangkan?!? Mintanya dengan cara paksa lagi.
Hingga waktu terus berjalan.... Beriringan. Di sebuah desa lain tragedi sebuah kursi yang sama terjadi lagi. Orangtua penerima manfaat bantuan kursi roda diminta untuk menyerahkan kursi roda yang mereka miliki dengan mengisi persyaratan dan menandatangani pernyataan bermaterai 6000 ribu rupiah secara paksa. Masih dengan pelaku dan kepanitiaan yang sama dengan tragedi di Semarang, dan penandatanganan dilakukan setelah pengukuran.
Orangtua bingung mempertanyakan. Apa yang bisa dilakukan.... Masih menunggu jawaban dan hasil proses penyidikan. Berharap akan sebuah bantuan, namun sakit hati yang didapatkan. Ah, ironi yang menyedihkan, saat seorang difabel berusaha menekan difabel lain demi sebuah kepuasan. Ego diri yang belum terpenuhi. Sekarang aku mengerti, saat aku pernah terjebak dalam lingkaran semacam ini. Sakitnya tuh di..... gigi.... 
Mengapa hal buruk semacam ini harus terjadi? Saat dendam pribadi harus dibawa ke organisasi dan ada banyak korban yang dipilih sebagai pelampiasan emosi. Ah. Sedih rasa hati ini. Karena semua bermula dari dendam yang mereka miliki, bukan karena dendam organisasi. Mengapa harus dendam pribadi?!? Datanglah padaku dan lepaskan dendammu. Jangan pada mereka, makhluk tak berdosa yang jatah hidupnyapun tergantung pada kemurahan Yang Kuasa. Bukankah kita semua sama? Hanya berharap pada kasih-Nya sehingga bisa mendapat peluang hidup yang lebih lama.
Ah. Ironi yang terjadi. Mengapa harus aku alami?!? Aku bisa apa sekarang, saat semua orang menyalahkan. Aku hanya butuh refleksi. Aku akan koreksi diri. Tapi jangan libatkan mereka yang tak berdosa dalam masalah kita ini. ini pribadi. Ingat!!! Sekali lagi antara kita sendiri. Kau dan aku. Sendiri!!!