Sunday, March 3, 2019


Masa Panen Pertama 





Wonosari dengan panas mentari. Sesekali mendung memayungi. Hari sudah agak siang. Sekira pukul delapan, aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Dengan lauk seadanya, dua botol minum kuisi air putih penuh cinta. Alat perang sudah disiapkan. Sabit, cangkul, karung plastik beserta talinya. Kami memang mau ke ladang. Sudah waktunya memanen kacang, juga jagung yang mulai kuning kepanasan.

Berangkat dengan langkah-langkah ringan, ladang masih nampak hijau dari kejauhan. Beberapa lahan garapan sudah terlihat lengang dari panenan. Beberapa yang lain masih menyisakan padi kuning kehijauan yang belum tersentuh tangan.

“Jagungnya tolong mbok petik ya, Dik.” Mas mulai memberikan instruksi padaku. Maklum, karena ini kali pertama aku ikut memanen hasil ladang.

“Kupas kulitnya sekalian daripada jadi sampah yang terbuang. Jadi yang kita bawa pulang hanya jagungnya, kulitnya biar jadi pupuk alami di ladang.” Mas menambahkan, sementara aku mengangguk hanya mengiyakan.

“Tidak usah dibawa-bawa kantongnya. Berat. Biar saja di sini.” Mas mencegah saat melihat aku mengangkat karung dengan jagung yang sudah kuisikan.

“Tak apa jagung-jagungnya cukup kau lempar.” Mas memastikan aku sudah paham.

“Bisakan?” Mas coba menanyakan padaku saat aku kebingungan. Mosok jagungnya dilempar? Belepot tanah sisa hujan, kan sayang? Tapi sekali lagi aku menggut-manggut, mendengar apa yang dia sampaikan.

Membawa botol minum bersama sabit dan cangkulnya, Mas bergegas menuju lahan bagian atas. Ke bebatuan cadas yang lebih terasa panas.

“Sisa kacang-kacang di atas sana biar Mas yang cabut.” Berbagi tugas, Mas ingin pekerjaan ladang segera selesai sebelum terik keburu siang. Berbenah, Mas merapikan tas wadah bekal yang dia letak di tempat teduh nan rimbun dengan pokok-pokok kayu putih di pinggir ladang. Meninggalkan bekal makan dan minum untuk lebih ada di dekatku, agar aku lebih mudah menjangkau saat perlu.

Menyaksikan hijau lahan luas, seolah liar yang nampak di kejauhan. Menatap keindahan alam yang kutemukan. Burung-burung beterbangan. Bayu semilir mesra dengan kelembutan. Sejenak membuat aku terlena bahwa tugasku yang utama memetik jagung dari pohonnya.

Aku melihat buah-buah jagung yang menguning kering di masing-masing batang. Tinggal mengupas kulitnya yang sudah mengeras, kupatahkan buah jagung dengan berusaha tangkas. Inilah kehidupan petani desa yang benar-benar keras. Keras. Sekeras tanah dasar ladang yang kujadikan pijakan.

Kuperhatikan, tanah yang kuinjak bukan tanah gembur dengan humus yang riang menghitam. Dari jauh tanah ladang ini seolah batu-batu karang yang bisa ditumbuhi aneka ragam pangan. Kebesaran Tuhan bila warganya mau mengolah dengan telaten dan keuletan.

Kuamati dengan seksama. Sekali lagi ini bukan tanah subur yang biasanya digunakan untuk berladang. Tanah ini beralas batu-batu karang. Sebagiannya adalah tebing kapur terjal, dengan permukaan batu-batu lebar yang ditutup dengan pupuk kandang agar bisa memberi hasil maksimal.

Keras. Tanah ini sekeras hidup masyarakatnya yang beberapa juga pemalas. Banyak kaum lelakinya yang hanya berlenggang kangkung di rumah, sementara para perempuan berjuang di ladang demi menyambung hidup yang harus dilanjutkan.

Menyeka keringat yang mulai menebal, aku benahi topi yang sering terbang ditiup angin nakal. Inilah hidupku yang sekarang. Mengikuti suami sebagai bukti pelayanan, inilah bentuk pengabdian yang harus kujalankan. Tak boleh takut kulitku mengelupas. Tak boleh takut kulitku akan sehitam jelaga kompor gas. Juga tak boleh takut bila akhirnya aku menderita gatal-gatal karena duri halus dari daun jagung yang kupatahkan. Sengsara. Panas, gatal, perih, semua kurasakan. Mungkin saatnya melupakan kulit cantik semulus bintang iklan. Tokh aku pernah mengerti rasanya berkulit eksotis sepekat sawo matang. Aku juga pernah mengerti rasanya punya kulit bersih waktu jadi pekerja kantoran.

“Jadi, nikmati yang kau dapatkan.” Bisikku pada hati kecil di dalam.

Jagung demi jagung kukumpulkan. Karung plastik sudah berhasil aku penuhkan. Berikat-ikat panenan kacang tanah sudah berhasil disatukan. Mas masih sibuk memotong rumput gajah untuk pakan. Hari hampir siang. Kami berhenti sejenak untuk rehat dan menikmati bekal makan siang. Sambal matah dan tempe goreng jadi santapan berbalut kesederhanaan. Nuansa hijau dan langit biru di ladang begitu kontras menambah rasa lapar. Aroma rumput segar menguar ditimpa suara gemercik air sungai di kejauhan. Burung hutan beterbangan. Inilah keindahan alam. Bayaran atas penat peluh yang kuberikan, bukti pengabdian pada suami, yang padanya hidup kuserahkan.

Maka nikmat mana lagi yang kudustakan, bila di sini semua kudapatkan tengah kuncup, dan mekar.... (Nglipar, 03/03/2019   21.06 wib)

No comments:

Post a Comment