Cahaya
Dalam Gulita
Hari
berlalu.
Membuka
laptop kesayangan, Hans membisu. Terduduk lemah, bahkan menulis pun ia tak lagi
mau. Hans hanya diam memandang langit biru. Kosong dan kelabu.
Menatapnya
dengan lelah, hatiku mulai ikut gundah. Dan waktu terus bertambah. Bergeming.
Hans tak jua goyah.
“Maaf.
Aku tak lagi sesempurna dulu.” Meraba, mencari tanganku, Hans berkesah pilu.
Mataku kembali memanas menahan ragu. Hans-ku....
“Tapi
aku selalu tahu, Hans, kau tetap Hansku yang dulu.” Memegang jemari lembutnya,
perih. Kutahan isak di dada.
Melangitkan
sepotong doa, meski dalam gulita kuingin kembali kau temukan cahaya. Demi
merenda asa. Masa, dimana kau dan aku memintal cinta dalam kasih nan bahagia.
***
Kenanganku
melaju pada hari kelabu saat Hans harus mengalami hari pahit pilu. Kami bersama
pergi menuju perpustakaan daerah untuk mencari referensi sebuah buku. Laju
motor yang membawaku tak bisa dibilang kencang, bahkan hanya perlahan karena
sambil menikmati pagi cerah suasana Minggu. Entah mengapa dari belakang kami
tetiba menyalip sebuah sedan biru. Mengkilap dengan cahaya lampu membutakan
penglihatanku. Hans yang mengendara motor dalam keramaian tak sanggup bertahan
menjaga stabilnya motor dari lalu lintas yang semrawut. Kami oleng. Motor
menyapu aspal dengan deru. Membanting kiri Hans sengaja menabrak portal
jalanan. Dan braakkk !!! Aku tak lagi tahu.
Saat
sadar aku hanya merasa pening di kepalaku. Jahitan melingkar di pipiku. Gigiku
rompal menyisakan pilu. Hans.... Aku mencarinya setelah tahu di mana keberadaanku.
Bangsal putih dengan aroma khas itu.... Hans dan kecelakaan itu. Aku kembali
melayang di langit biru, tanpa batas, membumbung hingga kelabu.
Hari
berlalu.... aku memudar bersama waktu.
Menyerpih dalam kelam malam nan beku.
Perjalanan panjangku mulai berlaku.
Satu.
Satu.
Demi satu.
Aku harus menyelesaikan tugasku....
....bersambung....
No comments:
Post a Comment