Sunday, April 19, 2015



Sebuah Pengakuan




And,
sekarang apa yang bisa aku katakan?
Kau sukses melakukannya,
Kau berhasil menorehkan luka.
Merenggut hari-hariku yang ceria,
Memenjarakanku dalam mimpi-mimpi buruk yang menyiksa.


Sekarang aku bisa apa,
Setelah lara cinta yang kau gores
meninggalkan serpih luka panjang.
Dengan hati yang terus saja berdarah
mengucur nestapa tak bisa disembuhkan.
Apakah kau pernah menyadarinya?


Aku masih saja terus bertanya, And,
inikah cinta yang kau puja?
Yang di dalamnya aku kau tawarkan kisah bahagia.

Cinta memang harus meninggalkan luka
Agar orang-orang yang berjalan di jalan cinta
Mengenal makna kata cinta yang sedalamnya,
Namun cinta yang semestinya
bukan  yang begini aku mendengar kisahnya.
Bila cinta harus merenggut masa indah persahabatan.
Sanggupkah aku menggantikan sekian hari kita yang hilang?
Mungkinkah aku merubah waktu dan keadaan
Untuk kembali pada masa indah yang pernah kita habiskan?
Tak bisa ,And. Tak akan pernah bisa.
Hanya hati kita yang bisa melakukan
Untuk kembali menyatukan serpih luka persahabatan
Yang telah ternoda karena cinta yang salah datang.


Kini aku sungguh merasa kehilangan 
manisnya kata mesra persahabatan.
Yang dulu senantiasa kau rangkai 
dalam puisi indah penuh riasan,
Dengan bahasa sastra 
yang kau bingkai penuh ketulusan.
Setelah bertahun kita terpisah jalan kehidupan,
Jujur, semula kukira itu hanya pemanis persaudaraan
Yang selama bertahun ini kita pertahankan.
Menyakitkan, bukan?!?

Bukankah dulu kata-kata indah itu senantiasa kau kirimkan
Bahkan hampir dalam tiap waktu saat jam pelajaran?
Masa-masa kita melalui hari penuh bahagia dan keceriaan
Dalam indahnya kisah remaja menjalin persahabatan.

Jujur juga sampai kita kembali dipertemukan,
Semua kata dan puisi indah yang kau kirimkan
Masih saja kuharap hanya sbagai tawaran persaudaraan.
Cinta dan kasih sayang yang kau lukiskan,
Aku tak pernah mengira itu fakta yang kau nyatakan
Hingga aku terus saja dengan senang hati membalas kata yang kau tuang
Dengan janji manis tentang indahnya cinta anak-anak Adam.


Jujur padamu akhirnya harus kukatakan
Ini memang menyakitkan.
Selintas memang, hanya sekilas,
Indahnya rasa yang berbeda sempat mengusik dalam dada.
Aku sangat menyadarinya,
hingga dengan segera aku merasa harus mengenyahkan.
Bukankah “rasa yang berbeda” itu tak boleh ada antara kita, And?
Maka akupun memupusnya,
Menghapus semua rasa yang terus tumbuh dengan begitu saja.
Aku tak ingin membiarkannya menggelora
Karena aku sadar sepenuhnya kau sudah berkeluarga,
Memiliki anak-anak yang kau kasihi
Dan istri yang padanya layak kau cintai.

Salahku juga membalas semua kata dengan romansa.
Tapi bukankah cinta selalu indah untuk dilukiskan
Meski ia terlarang untuk dihadirkan?!?
Atau bahkan terlarang datang dalam jalinan persahabatan?!?
Entahlah, aku tak pernah paham.


Kini waktu terus berjalan dan kau masih saja diam.
Membiarkanku tersakiti dalam lara panjang.
Menyiksaku dengan cintamu yang tak pernah padam.
Sementara bara itu di hatiku masih juga menyisakan kelukaan.
Sadarilah, aku dulu mematikan rasa dengan penuh keterpaksaan,
Agar nyalanya segera menghilang.
Benih kasihmu kukubur dalam kegelapan,
Sementara ia ingin terus tumbuh berusaha mencari sinar pencerahan,
Dan dengan susah payah aku memupusnya
agar mati tak bersemi menyisakan bunga bermekaran.


And,
Aku masih menahan sakit berkepanjangan
Mengenang hari manis yang pernah kita lewatkan.
Inikah takdir yang memang harus kita perankan?
Kasih kita tak mungkin disatukan.
Hanya indah terkenang dengan luka yang kita sisakan.
Kita biarkan….

Kini aku kian merindukan manisnya persahabatan
Yang pernah bersama kita lewatkan.


Atlas, 180415     05.38 wib




No comments:

Post a Comment