Sebuah Pengakuan
And,
sekarang apa yang bisa aku katakan?
Kau sukses melakukannya,
Kau berhasil menorehkan luka.
Merenggut hari-hariku yang ceria,
Memenjarakanku dalam mimpi-mimpi buruk
yang menyiksa.
Sekarang aku bisa apa,
Setelah lara cinta yang kau gores
meninggalkan serpih luka panjang.
Dengan hati yang terus saja berdarah
mengucur nestapa tak bisa disembuhkan.
Apakah kau pernah menyadarinya?
Aku masih saja terus bertanya, And,
inikah cinta yang kau puja?
Yang di dalamnya aku kau tawarkan kisah
bahagia.
Cinta memang harus meninggalkan luka
Agar orang-orang yang berjalan di jalan
cinta
Mengenal makna kata cinta yang sedalamnya,
Namun cinta yang semestinya
bukan
yang begini aku mendengar kisahnya.
Bila cinta harus merenggut masa indah
persahabatan.
Sanggupkah aku menggantikan sekian hari
kita yang hilang?
Mungkinkah aku merubah waktu dan keadaan
Untuk kembali pada masa indah yang pernah
kita habiskan?
Tak bisa ,And. Tak akan pernah bisa.
Hanya hati kita yang bisa melakukan
Untuk kembali menyatukan serpih luka
persahabatan
Yang telah ternoda karena cinta yang salah
datang.
Kini aku sungguh merasa kehilangan
manisnya
kata mesra persahabatan.
Yang dulu senantiasa kau rangkai
dalam
puisi indah penuh riasan,
Dengan bahasa sastra
yang kau bingkai penuh ketulusan.
Setelah bertahun kita terpisah jalan
kehidupan,
Jujur, semula kukira itu hanya pemanis
persaudaraan
Yang selama bertahun ini kita pertahankan.
Menyakitkan, bukan?!?
Bukankah dulu kata-kata indah itu
senantiasa kau kirimkan
Bahkan hampir dalam tiap waktu saat jam
pelajaran?
Masa-masa kita melalui hari penuh bahagia dan keceriaan
Dalam indahnya kisah remaja menjalin
persahabatan.
Jujur juga sampai kita kembali
dipertemukan,
Semua kata dan puisi indah yang kau
kirimkan
Masih saja kuharap hanya sbagai tawaran
persaudaraan.
Cinta dan kasih sayang yang kau lukiskan,
Aku tak pernah mengira itu fakta yang kau
nyatakan
Hingga aku terus saja dengan senang hati
membalas kata yang kau tuang
Dengan janji manis tentang indahnya cinta
anak-anak Adam.
Jujur padamu akhirnya harus kukatakan
Ini memang menyakitkan.
Selintas memang, hanya sekilas,
Indahnya rasa yang berbeda sempat mengusik
dalam dada.
Aku sangat menyadarinya,
hingga dengan segera aku merasa harus
mengenyahkan.
Bukankah “rasa yang berbeda” itu tak boleh
ada antara kita, And?
Maka akupun memupusnya,
Menghapus semua rasa yang terus tumbuh
dengan begitu saja.
Aku tak ingin membiarkannya menggelora
Karena aku sadar sepenuhnya kau sudah
berkeluarga,
Memiliki anak-anak yang kau kasihi
Dan istri yang padanya layak kau cintai.
Salahku juga membalas semua kata dengan
romansa.
Tapi bukankah cinta selalu indah untuk
dilukiskan
Meski ia terlarang untuk dihadirkan?!?
Atau bahkan terlarang datang dalam jalinan
persahabatan?!?
Entahlah, aku tak pernah paham.
Kini waktu terus berjalan dan kau masih
saja diam.
Membiarkanku tersakiti dalam lara panjang.
Menyiksaku dengan cintamu yang tak pernah
padam.
Sementara bara itu di hatiku masih juga
menyisakan kelukaan.
Sadarilah, aku dulu mematikan rasa dengan
penuh keterpaksaan,
Agar nyalanya segera menghilang.
Benih kasihmu kukubur dalam kegelapan,
Sementara ia ingin terus tumbuh berusaha
mencari sinar pencerahan,
Dan dengan susah payah aku memupusnya
agar mati tak bersemi menyisakan bunga
bermekaran.
And,
Aku masih menahan sakit berkepanjangan
Mengenang hari manis yang pernah kita
lewatkan.
Inikah takdir yang memang harus kita
perankan?
Kasih kita tak mungkin disatukan.
Hanya indah terkenang dengan luka yang
kita sisakan.
Kita biarkan….
Kini aku kian merindukan manisnya
persahabatan
Yang pernah bersama kita lewatkan.
Atlas, 180415 05.38 wib